Kamis, 10 November 2011

Skripsi Sastra Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah karya yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, kehidupan dalam isi dan ungkapannya (Sudjiman, 1990:17). Karya sastra biasanya menampilkan suatu gambaran kehidupan yang berdasarkan fakta sosial dan kultural, karya sastra pada dasarnya bukan hanya sebagai hasil tiruan realitas kehidupan tetapi merupakan penafsiran-penafsiran terhadap realitas yang terjadi di masyarakat (Esten, 1989:8). Penelitian terhadap karya sastra penting dilakukan untuk mengetahui relevansi karya sastra dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat pada dasarnya mencerminkan realitas sosial dan memberikan pengaruh terhadap masyarakat oleh karena itu, karya sastra dapat dijadikan medium untuk mengetahui realitas sosial yang diolah secara kreatif oleh pengarang. Novel adalah salah satu bentuk karya sastra yang menyajikan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata, yang mempunyai unsur intrinsik dan ekstrensik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia bermacam-macam masalah dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Seorang pengarang berusaha semaksimal mungkin mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan lewat cerita yang ada dalam novel tersebut. Pada zaman modern, perempuan di berbagai negara, termasuk Indonesia mulai mempertanyakan, menggugat dominasi, dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarki. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di berbagai bidang, termasuk di bidang sastra. Mereka menggugat tentang keberadaan dirinya. Ketidakadilan yang terjadi selama ini terlalu mengekang bagi mereka. Di Indonesia kedudukan perempuan sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 27, yaitu perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan dengan laki-laki. Dalam perundang-undangan politik telah mencerminkan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama punya hak untuk dipilih dan memilih. Peran serta perempuan di Indonesia dalam pembangunan pun telah diatur, dengan ditetapkannya Instruksi Presiden Nomor 9/1999. Instruksi ini berisi tentang pengarusutamakan gender dalam pembangunan sosial. Gender mendapat perhatian yang semakin tinggi di era Kabinet Reformasi, dengan dikeluarkannya Inpres No. 9/2000, sebagai pembaharuan dari Inpres No. 9/1999. Isi Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 yang pertama adalah melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, pengusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing. Namun perlakuan perempuan di Indonesia sampai saat ini belumlah seperti apa yang diharapkan. Kenyataannya memperlihatkan bahwa jumlah perempuan Indonesia yang menjadi anggota legislatif selama tujuh kali pemilu presentasenya masih kecil, walaupun jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini terlihat dari data statistik yang diperoleh BPS bekerja sama dengan Unifem pada tahun 2000, yang menunjukkan rendahnya representasi perempuan. Perempuan yang duduk di DPR (8,8%), MPR (9,1%), anggota DPA (2,7%), Hakim Agung (13,7%), kepala desa/lurah (2,3%). Demikian pula halnya dengan perempuan yang memegang posisi pada jabatan pengambil keputusan juga masih kecil, kedudukan perempuan dalam jabatan struktural kepegawaian (15,2%). Mengapa hal ini terjadi? Permasalahan tentang ketidakadilan perempuan tidak lepas dari sistem sosial, budaya, serta politik yang berlaku pada suatu Negara. Contohnya di Indonesia, ketika masa orde baru, ada Menteri Peranan Wanita, posisi perempuan berada di belakang suami, sebagaimana bisa kita lihat pada struktur organisasi Dharma Wanita. Dalam struktur organisasi Dharma Wanita, ibu hanya mengikuti posisi suami dan berlaku sampai sekarang. Hingga Taufik Ismail (2008:15) membuat puisi yang berjudul “Dharma Wanita” yang intinya mengkritik terhadap kegiatan Dharma Wanita dan menganjurkan dibubarkan. Pada masa Habibie ada Menteri Negara Urusan Wanita, pada saat pemerintahan Gus Dur menjadi Menteri Negara Urusan Pemberdayaan Perempuan. Dengan adanya menteri dan perubahan nama ini mengisyaratkan adanya pengakuan bahwa perempuan di Indonesia ini belum berdaya sehingga harus diberdayakan. Di bidang politik tak kalah terpojoknya perempuan atas laki-laki, hal ini bisa kita lihat pada waktu Megawati akan mencalonkan diri menjadi presiden. Berbagai perlawanan dan perdebatan meramaikan suasana tersebut. Perempuan sepertinya tidak tepat menjadi seorang pemimpin. Deskriminasi gender merupakan perjuangan yang panjang. Perlakuan tidak adil yang paling kuat adalah kekerasan domestik dan kekerasan publik. Perempuan yang mengalami kekerasan publik dan domistik seringkali tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Kaum perempuan hanya memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh pada laki-laki yang menguasainya. Terlihat bagaimana kasus Marsinah, ia dibunuh karena memperjuangkan nasibnya. Sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya. Adanya ketimpangan dalam memposisikan perempuan itulah, maka di berbagai belahan dunia perempuan mulai mencari, menyesuaikan bagaimana agar sederajat dengan laki-laki, muncul juga di Indonesia dengan istilah emansipasi wanita. Peranan perempuan mulai diperhitungkan, baik itu di kancah politik maupun bidang yang lain. Adanya porsi 30% penempatan posisi perempuan di berbagai bidang, utamanya bidang politik, membuat citra perempuan sedikit terangkat. Ketimpangan-ketimpangan inilah yang menyebabkan munculnya gerakan feminis dalam dunia sastra. Pandangan yang menggugat dan mempertanyakan ketidakadilan yang dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarki di dalam dunia sastra. Dalam dunia penelitian, akhir-akhir ini penelitian tentang gender banyak dilakukan, seperti penelitian yang berjudul Fiksi Karya Pengarang Perempuan Muda Indonesia 2000 dalam Perspektif Gender hasil penelitian Nugraheni Eko Wardani, Inferioritas Perempuan karya Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, dan Siti Nurbaya dalam Analisis Kritik Sastra Feminis karya Sugihastuti dan Suharto. Selain itu masih banyak lagi penelitian serupa yang dilakukan oleh yayasan-yayasan perempuan maupun para ilmuwan lain. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Masyarakat patriarki yang cenderung mensubordinasi (menomorduakan) kaum perempuan di ranah publik menjadikan sosok kaum perempuan menjadi begitu rentan terhadap ketidakadilan gender, seperti kekerasan, kemiskinan (marginalisasi), maupun beban ganda. Di sisi lain banyak kaum laki-laki yang merasa khawatir bahwa gender akan membuat peran kaum laki-laki menyempit. Bahkan tak jarang yang berpandangan bahwa gender merupakan bentuk perlawanan kaum perempuan terhadap kodrat yang akan menyingkirkan peran kaum laki-laki di sektor publik. Dampak lain yang timbul akibat stereotipe terhadap perempuan dapat berupa pembagian kerja untuk perempuan. Ada ruang publik dan ruang domestik. Dalam masyarakat, perempuan diidentikkan dengan fungsi sosialnya di ruang domestik sebagai ibu rumah tangga. Artinya perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangga, namun pemimpin keluarga tetaplah suami. Ruang publik lebih didominasi laki-laki, sehingga mereka merasa berkuasa, karena merekalah yang mencari uang. Dominasi laki-laki tidak hanya terjadi di berbagai bidang kehidupan, tetapi juga di dunia sastra. Dalam kesusastraan Indonesia, masih sedikit kaum perempuan yang berkecimpung di bidang sastra. Dunia sastra masih didominasi kaum laki-laki. Ideologi patriarki yang mendominasi masyarakat kita tampaknya turut mempengaruhi cara pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam karya-karyanya. Nasib kaum perempuan Indonesia di tengah budaya patriarki dapat dilihat sejak roman Siti Nurbaya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa Balai Pustaka. Novel itu menggambarkan perempuan dalam posisi yang lemah dan menjadi korban kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang tidak dicintainya. Selain Siti Nurbaya, nasib buram perempuan terjadi di sebagian besar karya sastra seperti Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar. Meski tokoh-tokoh utamanya dilukiskan sebagai perempuan tegar, tapi kaum perempuan di sekitarnya cenderung digambarkan bodoh, miskin, lemah, dan jadi korban budaya patriarki. Tentu tidak terlalu meleset untuk mengatakan bahwa pada novel-novel tersebut menggambarkan tokoh perempuan cenderung buram dan menjadi kaum yang tunduk dalam budaya patriarki. Bentuk deskriminasi gender dalam novel pada masa periode Balai Pustaka antara lain: kawin paksa, pembatasan pendidikan, dan kekerasan terhadap perempuan. Meraka beranggapan apa yang ditentukan orang tua, baik pula akibatnya buat anak. Kadang mereka tidak memikirkan bahwa memaksa itu justru menimbulkan luka yang mendalam bagi anak dan menghancurkan masa depannya. Kenyataannya lebih banyak karya sastra Indonesia, menempatkan perempuan dalam posisi tertindas. Kondisi tersebut, jelas memberikan pencitraan negatif pada perempuan sebagai mahluk kelas dua yang lemah dan gampang dikuasai oleh kaum laki-laki. Hingga kini, tokoh-tokoh perempuan kerap ditulis menjadi korban kekerasan, penindasan, perkosaan, dan bahkan pengucilan. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan penulis laki-laki atau perempuan, dominasi laki-laki selalu lebih kuat. Banyak karya sastra Indonesia yang memojokkan perempuan. Seperti Ronggeng Dukuh Paruk yang memojokkan perempuan menjadi ronggeng. Dari paparan di atas jelaslah bahwa perempuan hanyalah menjadi objek. Jadi tepatlah istilah mereka swargo nunut neraka katut, selain itu perempuan juga dianggap sebagai barang pajangan, yang harus indah dan enak dipandang. Penggambarkan sosok perempuan secara lebih ideal, sebenarnya juga ada. Misalnya novel Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh perempuan (Tuti) digambarkan sebagai sosok yang terpelajar, modern, berpikiran maju, dan menjadi tokoh pergerakan yang tegar. Tokoh perempuan yang dapat menjadi panutan. Kaum perempuan yang memimpin proses perubahan sosial kearah kemajuan bangsanya, khususnya kemajuan kaum perempuan. Namun, idealisasi sosok perempuan seperti itu tidak memiliki mata rantai yang kuat hingga sekarang, karena banyak tokoh perempuan yang tertindas dan lemah. Dalam era globalisasi ini peranan perempuan semakin meningkat, selaras dengan kemajuan teknologi. Masyarakat sudah dapat menerima peranan perempuan dalam dunia publik. Hampir semua pekerjaan pria sekarang ini dapat dilakukan oleh perempuan, seperti, pemimpin, akunting, politikus, maupun dokter. Sehingga munculah kesadaran agar wanita dihargai. Mereka menginginkan persamaan derajat. Perempuan semakin sadar akan nasibnya, haknya, dan cita-citanya. Kesadaran ini semakin baik dengan adanya dukungan orang tua dan lingkungan yang saat ini sangat mendukung. Orang tua dan masyarakat sudah dapat menerima keberadaan dan kemampuan perempuan. Perempuan Indonesia saat ini sebagian besar sudah mendapatkan persamaan derajat dengan laki-laki. Hal ini terbukti dengan adanya seleksi penerimaan siswa/mahasiswa/pegawai yang tidak lagi membatasi jumlah perempuan. Lalu bagaimana perjuangan perempuan di bidang sastra? Ternyata telah muncul fenomena pemberontakan perempuan dalam bidang sastra. Selama ini, jumlah buku sastra Indonesia boleh dibilang sangat sedikit, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, karya fiksi yang sedikit ini mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian publik. Persoalannya kini adalah bagaimana agar karya sastra dapat menjadi pelopor perjuangan gender yang efektif untuk membebaskan kaum perempuan dari kebodohan, kemiskinan, dan penindasan kaum laki-laki. Tentu, bukan pembebasan dalam pengertian bebas dari aturan moral, batasan tabu dan etika seksual. Dalam hal ini, pencitraan perempuan yang menokoh. Mungkin itu terlampau ideal dan jauh dengan realitas. Tetapi, untuk mendorong proses perubahan sosial kaum perempuan di dunia, khususnya di Indonesia, selain dibutuhkan potret nasib perempuan yang senyatanya, sering juga dibutuhkan idealisasi dengan kehadiran sosok-sosok perempuan teladan, perempuan pelopor yang mampu membebaskan kaumnya dari kemiskinan, kebodohan dan penindasan. Inilah perjuangan yang belum banyak disentuh oleh pengarang kita. Dunia sastra juga menunjukkan adanya perkembangan yang bagus terhadap peranan perempuan, sehingga lahirlah aliran feminisme. Di Indonesia lahir feminis-feminis yang berkompeten seperti NH Dini, yang hampir seluruh karyanya memperlihatkan peranan positif perempuan. Perempuan tidak hanya menjadi orang kedua, perempuan tidak hanya mengikuti suami ‘neraka katut surga nunut”. Seperti halnya cerita dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata ini ceritanya sangat menarik. Suparto Brata membuat cerita dalam novel Mahligai di Ufuk Timur terlihat hidup. Artinya, judul ini begitu pas menggambarkan isi dari akhir buku trilogi ini. Cita-cita seorang Teyi yang telah berhasil menjadi Den Rara Teyi dan bersama ibunya dengan kerja keras berhasil membangun dengan kokohnya kerajaan Raminem (kerajaan pertanian). Selain itu Den Rara Teyi juga bertujuan untuk mencari jodohnya, menemukan cintanya, melanjutkan pemikiran besarnya serta menepati janjinya bertemu Ndara Mas Kus Bandarkum di Istana Jayaningrat Surakarta. Kisah percintaan dalam hingar bingar rindu suasana pertemuan dan diskusi panjang mengungkap tuntas kebudayaan bangsa Jawa secara gamblang. Cerita ini berlatar tahun 1940-an ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. Budaya unggah-ungguh Keraton Surakarta yang begitu adiluhung pun mulai tersapu, oleh karena itu persatuan kedua insan ini dinyatakan sebagai perkawinan di awal jaman laksana terbitnya matahari di ufuk timur. Budaya Jawa yang harus diselamatkan kelestariannya dengan munculnya jaman modern, sehingga mau tidak mau harus segera bertindak memberikan pendidikan baca tulis pada generasi itu sebanyak-banyaknya demi lestarinya budaya adiluhung bangsa Jawa dan mempersiapkan diri menjadi bangsa Indonesia yang merdeka. Masalah perspektif gender dan nilai feminisme yang terkandung dalam novel Mahligai di Ufuk Timur, salah satunya ditunjukkan melalui tokoh Raminem , Den Rara Teyi dan Dumilah sebagai sosok perempuan yang suka bekerja keras layaknya laki-laki. Peneliti menganggap novel Mahligai di Ufuk Timur mengenai perspektif gender penting untuk dianalisis dengan alasan sebagai berikut: 1. Novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata merupakan salah satu novel penting dalam kesusastraan Indonesia modern. 2. Pembahasan masalah perspektif gender yang terkandung dalam novel Mahligai di Ufuk Timur penting dilakukan untuk mengetahui relevansinya dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. 3. Masalah perspektif gender dalam karya sastra pada umumnya dan khususnya dalam novel Mahligai di Ufuk Timur pada khususnya merupakan fenomena menarik dalam memberikan deskripsi dan kontribusi dalam wacana feminisme, gender dan sasrta. Penelitian ini membahas perspektif gender yang terdapat dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. Pembahasan dilakukan dengan menggunakan tinjauan sastra feminis untuk bisa mengetahui masalah-masalah yang menunjukkan adanya kesetaraan gender dan ketidakadilan gender dalam novel tersebut serta hubungan dengan kenyataan dalam masyarakat. B. Rumusan Masalah Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi jelas dan terarah perlu adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam penelitian ini dalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur pembangun dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata? 2. Bagaimana perspektif gender dan nilai feminisme dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul dan permasalahan sebagai tujuan untuk memecahkan masalah yang ada dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Adapun peneliti memiliki dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui bagaimana perspektif dalam dunia sastra. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan struktur yang membangun novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata b. Mendeskripsikan perspektif gender dan nilai feminisme dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat: a. Memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kritik sastra dan pengkajian sastra. b. Memberi masukan kepada guru bahasa dan sastra Indonesia serta sastrawan tentang perspektif gender dalam novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengajaran apresiasi sastra, utamanya analisis karya sastra yang menggunakan pendekatan pendekatan feminisme. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, siswa/mahasiswa, dan penikmat karya sastra untuk memahami dan menemukan perspektif gender dalam novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata. c. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengefektikan roses pembelajaran apresiasi novel, khususnya novel-novel yang beraliran feminisme. d. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan mahasiswa mengenai gender, agar dapat menjadi agen perubahan dengan melakukan penelitian lanjutan dengan tema gender, untuk mencapai tujuan kesetaraan gender. e. Bagi peneliti lain yang berkecimpung dalam bidang penelitian pembelajaran sastra maupun penelitian karya sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan keilmuan dalam bidang apresiasi novel, dan dapat memberi dorongan dan suntikan semangat untuk melakukan penelitian-penelitian sejenis secara intensif dengan jangkauan yang lebih luas dan dalam. BAB II LANDASAN TEORI A. Hakikat Sastra Masalah definisi sastra sampai sekarang belum ada kesatuan pendapat. Sastra untuk sebagian orang merupakan misteri. Untuk dapat membuat rumusan secara singkat dan jelas memang tidaklah mudah, namun jika terlibat didalamnya kita dapat melihat dengan sendirinya. Pendapat Edwin Greenlaw (dalam Wellek dan Warren, 1989:11), menyatakan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis/tercetak. Sedangkan Wellek dan Warren membedakan ciri-ciri dengan memerinci kegunaan bahasa yang khas sastra, dengan cara membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah, maupun bahasa sehari-hari. Bahasa Sastra menurutnya antara lain: (1) penuh ambiguitas dan homonim, (2) memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional, (3) penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya, (4) sangat konotatif, (5) mempunyai fungsi ekspresif, (6) menunjukkan nada atau tone dan sikap penulisnya, (7) berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca (1989:14-15). Berbeda dengan pandangan Wellek dan Warren, menurut Teeuw (1984:26-30) sesuai dengan pengertian sastra (literature) dalam bahasa Barat yang umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Goldmann (dalam Jakob Sumardjo, 1982:13) mendefinisikan karya sastra adalah suatu kesatuan yang utuh dan integral. Ia harus bulat dan saling berhubungan erat antar unsurnya, dan unsur-unsur yang menentukan bentuk ini juga mesti punya kaitan kuat dengan kandungan isinya. Sastra menurut Atar Semi M. (1993:8 ) adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai karya kreatif sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, serta menjadi wadah penyampaian ide-ide. Nilai seni sastra muncul karena adanya proses yang kreatif, disampaikan dengan bahasa yang indah dan penuh nilai kehidupan. Karena sastra berupa karya seni, maka harus diciptakan dengan penuh kreativitas, dengan cara kreatif memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidup manusia yang dihayatinya. Karya sastra juga menyangkut isi, bahasa, dan nilai yang dikandungnya. Unsur tersebut tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan. Sastra menurut Horatius (dalam Teeuw, 1984:8) haruslah dulce et utile, bermanfaat dan nikmat. Cipta sastra di samping menunjukkan sikap yang kreatif, ia juga harus menjadi penerang, petunjuk yang mampu memimpin manusia untuk mencapai nilai-nilai yang dapat menemukan hahikat kemanusiaan yang berkepribadian. Sastra haruslah mempunyai kandungan amanat spiritual yang berbalutkan estetika. Dengan membaca diharapkan pembaca memperoleh kesenangan, pengetahuan serta penghayatan terhadap hidup dan kehidupan. Dari beberapa pendapat para ahli di depan dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah teks yang mengandung ajaran atau pedoman, yang dapat memberikan manfaat dan kenikmatan, yang disampaikan dengan bahasa yang indah serta merupakan kesatuan yang utuh dan integral antar unsur-unsurnya. B. Hakikat Novel Novel menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:9) berasal dari bahasa Itali novella secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil. Menurutnya novel dan cerpen merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (1994:37) novel berasal dari bahasa Latin novellas yang diturunkan menjadi novies yang berarti baru. Novel jauh lebih panjang jika dibandingkan cepen, sehingga novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, lebih rinci, lebih mendetail dan menyajikan sesuatu lebih banyak. Suminto A. Sayuti (2000:10) berpendapat novel berkebalikan dengan cerpen yang bersifat memadatkan, novel cenderung bersifat expands “meluas”. Jika cerpen lebih mengutamakan intensitas, novel yang baik cenderung menitikberatkan munculnya complexity ‘kompleksitas”. Novel lebih luas daripada cerpen, baik dari segi kompleksitas masalah maupun tokoh. Novel memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai tempat, waktu, ataupun konflik. Panuti Sudjiman (1986:53) berpendapat bahwa novel adalah proses rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan penampilan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Clara Reeve (dalam Wellek dan Warren, 1989:282) mengemukakan novel adalah gambaran kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan indah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi. Burhan Nurgiyantoro (2007:4) berpendapat bahwa novel adalah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner yang dibangun melalui beberapa unsur intrinsik seperti peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, yang semuanya tentu bersifat imajiner. Kebenaran dalam dunia fiksi, tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dengan kebenaran dalam dunia nyata. Dalam dunia fiksi dikenal dengan licentia poetica, pengarang dapat berkreasi, mensyahkan, maupun memanipulasi berbagai masalah kehidupan yang dialami dan diamati menjadi kebenaran yang hakiki dan universal dalam karyanya, walaupun secara faktual merupakan hal yang salah. Cerpen, novel, dan roman pada dasarnya sama, yaitu sama-sama dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama. Sedangkan perbedaan cerpen dan novel menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:10-14) adalah: (1) novel lebih panjang, dari cerpen, cerpen selesai dibaca dalam sekali duduk, suatu hal yang tidak mungkin dilakukan untuk membaca sebuah novel; (2) plot cerpen umumnya tunggal, novel umumnya mempunyai lebih dari satu plot; (3) setting dalam novel lebih detail, cerpen hanya pelukisan garis besarnya saja; (4) tema dalam cerpen hanya satu, novel menawarkan lebih dari satu tema, yaitu tema utama dan tema tambahan; (5) kepaduan dalam cerpen lebih mudah tercipta, sedangkan dalam novel lebih sulit karena novel biasanya terdiri panjang yang dari beberapa bab sehingga mencari kepaduan dalam novel sangat sulit. Perbedaan cerpen dengan novel menurut Stanton (2007:90) adalah ciri khas cerpen terletak pada kekuatannya yang mampu menghadirkan sesuatu lebih dari yang ia ceritakan, sedangkan ciri khas novel terletak pada kemampuannya untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus rumit. Novel berarti lebih mudah sekaligus lebih sulit dibaca dibandingkan dengan cerpen. Lebih mudah karena tidak dibebani tanggung jawab untuk menyampaikan seseuatu secara cepat atau dalam bentuk yang padat, dikatakan sulit karena novel ditulis dalam skala besar sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas daripada cerpen. Perbedaan novel dengan roman, novel bersifat realistis, sedang roman cenderung puitis dan epik. Tokoh dalam novel lebih realistis, lebih objektif, ia merupakan tokoh yang memiliki derajat lifelike, sedangkan tokoh dalam roman cenderung subjektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren (1989:15) bahwa novel lebih menggambarkan tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Jadi merupakan tokoh yang lebih memiliki derajat lifelike. Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan,1993:165) mengungkapkan bahwa: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih dari satu ikspresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; (d) novel menyajikan lebih dari satu emosi. Walaupun sampai saat ini antara pengertian novel dan roman masih kabur, tapi perbedaan yang penting terlihat dari batasan tokohnya, Tokoh dalam roman lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan tokoh dari lahir sampai meninggal, sedangkan novel lebih banyak melukiskan kehidupan tokoh satu saat dari kehidupan seseorang. Jadi novel adalah karya fiksi/karya sastra yang dibangun oleh beberapa unsur (peristiwa, pandangan, karakter, tema) yang membangun suatu kesatuan, kebulatan struktur (unity), lebih komplek dan luas daripada cerpen. Kebulatan itu bersifat fungsional, mendukung maksud secara keseluruhan, dan maknanya ditentukan oleh keseluruhan itu. C. Analisis Struktur Novel Struktur berasal dari kata structura (bahasa latin) yang berarti bentuk atau bangunan. Srtukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu srtuktur itu sendiri dengan mekanisme antar hubungannya, hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, dan hubungn antar unsur dengan totalitasnya. Strukturalisme sering digunakan oleh peneliti untuk menganalisis seluruh karya sastra, dimana kita harus memperhatikan unsur-unsur yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Stuktur yang membangun sebuah karya sastra sebagai unsur estetika dalam dunia karya sastra antara lain: alur, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat (Ratna, 2004:19-94). Pradopo dkk (dalam Jabrohim & Wulandari, 2001:54) menjelaskan bahwa suatu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa didalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu stuktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunannya yang saling berjalin. Stanton (1965:12) mengemukakan bahwa unsur-unsur pengembangan itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Fakta cerita yang terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri sudut pandang, sudut pandang gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imajinasi, dan cara-cara pemilihan judul di dalam karya sastra. Sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas. Dalam pendekatan struktural, karya sastra baik fiksi maupun puisi adalah sebuah totalitas yang dibangun secara kohernsif oleh berbagai unsur pembentuknya (Abrams dalam Pradopo, 1995:78). Analisis stuktur dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik, fisik yang bersangkutan (Nurgiantoro, 2000:37). Analisis stuktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan berbagai unsur yang secara bersama-sama membentuk makna (Teeuw dalam Imron, 1995:170), yang penting menurut Teeuw, bagaimana berbagai gejala itu memberikan sumbangan dalam keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya, serta antara tataran yakni fonetik, morfologi, sintaksis, dan semiotik. Keseluruhan makna yang terkandung dalam teks akan terwujud hanya dalam keterpaduan struktur yang bulat. Menurut Herman J. Waluyo dan Nugraheni Eko Wardani, struktur prosa fiksi terdiri atas: tema, plot, penokohan dan perwatakan, setting, sudut pandang, amanat, dan bahasa/dialog. Semua unsur itu dicipta secara serentak oleh pengarang untuk mendukung apa yang hendak dikemukakan. Unsur-unsur itu merupakan unsur pembangun novel secara intrinsik. 1. Alur/Plot Alur/plot menurut Stanton (2007:26) merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur/plot biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara kausal/sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Alur/plot merupakan tulang punggung cerita. Alur/plot dalam sebuah novel menurut Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:114) memiliki sifat misterius dan intelektual. Alur menurut Aminuddin (1987:83) adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Alur/plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konfiks yang mampu menarik atau bahkan mencekam. Boulton (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005:46) mengibaratkan alur/plot sebagai rangka dalam tubuh manusia. Tanpa rangka tubuh tidak dapat berdiri. Alur/plot mempunyai tahapan-tahapan, tahapan-tahapan itu harus membentuk satu kesatuan. Kejadian dalam tahapan alur/plot yang diciptakan pengarang merupakan hal yang masuk akal, mungkin terjadi dalam kehidupan nyata, meskipun hal tersebut hanya merupakan buah imajinasi/plausibility (Herman J. Waluyo dan Nugraheni Ekowardani). Tahapan alur/plot berdasarkan pemikiran Loban dkk. (dalam Aminuddin, 1987:85) 2. Tema Tema menurut Brooks and Warren (dalam Henry Huntur Tarigan, 1993:77) adalah dasar atau makna sesuatu cerita atau novel atau thema is the point or meaning of a story or novel. Senada dengan Brooks, Stanton (2007:42) menyatakan tema adalah makna cerita. Tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 1987:91) berasal dari bahasa Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema (theme) menurut Stanton dan Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema menurut Panuti Sudjiman (1988:51) adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur. Menurut Stanton (2007:42) cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek cerita turut mendukung kehadiran tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua peristiwa dalam cerita. Dari beberapa pendapat tentang tema di depan dapat disimpulkan, tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang terkandung dalam karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. 3. Tokoh dan Penokohan Dalam karya fiksi sering digunakan istilah tokoh, penokohan, watak, perwatakan, maupun karakter. Cerita fiksi pada dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa orang yang menjadi tokoh. 1) Tokoh Tokoh menurut Panuti Sudjiman (1988:16) adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Sedangkan penokohan menurut Panuti Sudjiman (1988:23) adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:65) istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca. Aminuddin (1987:79) berpendapat tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Tokoh dalam sebuah novel mempunyai fungsi yang sangat menetukan. Tokoh mempunyai peran yang sangat penting dalam menyampaikan sebuah cerita. Tokohlah sebagai corong pengarang dalam mengungkapkan ide atau kehendak. Menurut Aminuddin (1987:80) cara menentukan siapa tokoh utama maupun tokoh tambahan dalam cerita, pembaca dapat menentukan dengan: (1) melihat keseringan permunculannya dalam cerita; (2) lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarang, biasanya tokoh utama sering dibicarakan dan diberi komentar oleh pengarang; selain itu lewat (3) judul cerita. Dari paparan di depan maka dapat disimpulkan tokoh adalah pelaku/individu rekaan yang mengemban/mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa, sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. 2) Penokohan Cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan. Penokohan menurut Panuti Sudjiman (1988:23) adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Penokohan menurut Wellek dan Warren (1989: 288) ada dua macam penokohan, yaitu penokohan stastis/tetap dan penokohan dinamis atau berkembang. Sayuti (Wiyatmi,2006:31) menyatakan bahwa berdasarkan wataknya dikenal tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas dan hanya ditonjolkan satu sisi karakternya saja. Sementara tokoh kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia, yang memiliki sisi baik dan sisi buruk. Dari paparan di depan dapat disimpulkan penokohan adalah cara pengarang menyajikan watak tokoh. 4. Latar/Setting Latar/setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Burhan Nurgiyantoro (2007:216) menyatakan latar/setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. latar/setting meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh. Latar/setting menurut Wellek dan Warren (1989:290), berarti lingkungan. Lingkungan yang dapat berfungsi penentu pokok. Panuti Sudjiman (1988:44) mengemukakan latar/setting adalah segala keterangan, petunjuk, atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar/setting menurut Aminudin (1987:67) adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan psikologis. Sedangkan menurut Leo Hamalian dan Frenderick R. Karel (dalam Aminudin, 1987:68) menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu (setting psikologis). Setting dalam cerita berfungsi membuat cerita mudah dipahami, karena pembaca dapat menikmati cerita tersebut seperti kenyataan, kenyataan yang imajinasi. Selain itu setting juga dapat memberikan suasana yang diinginkan dalam cerita. Menurut Aminudin (1987:67) fungsi latar antara lain: (1) membuat fiksi menjadi cerita yang logis; (2) mampu menuansakan makna tertentu dan suasana-suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya (fungsi psikologis). Unsur latar menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:227) ada tiga yaitu: tempat, waktu, dan sosial. 1) Latar Tempat Latar tempat meliputi lokasi terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang digunakan berupa nama-nama tempat tertentu, misalnya desa/daerah yang ada di dunia atau nama lokasi yang berupa hasil imajinasi pengarang.   2) Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan kapan suatu peristiwa dalam cerita itu terjadi. Waktu yang digunakan dalam karya sastra bisa berupa waktu yang dikaitkan dengan peristiwa faktual, maupun waktu yang berupa imajinasi. 3) Latar Sosial Latar sosial berhubungan dengan kehidupan social masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya. Latar sosial bisa berupa: adat kehidupan, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Dari berbagai pendapat di depan dapat disimpulkan bahwa latar/setting adalah latar cerita, baik itu berupa setting fisikal maupun setting psikologis. Setting fisikal berupa tempat, waktu yang terbatas pada sifat fisik, sedangkan setting psikologis merupakan setting sosial yang berupa suasana, adat istiadat, sikap serta jalan pikiran atau lingkungan masyarakat tertentu. 5. Sudut Pandang Stanton (2007:40) berpendapat sudut pandang memasalahkan siapa yang bercerita. Secara rinci pembagian sudut pandang adalah: (1) sudut pandang first person central atau akuan sertaan; (2) sudut pandang pirst person peripheral atau akuan taksertaan; (3) sudut pandang third personal omniscient atau diaan mahatahu; (4) sudut pandang third person limied atau diaan terbatas Stanton (2007:41). Sudut pandang menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:256) dibedakan berdasarkan bentuk persona tokoh cerita: yaitu persona pertama dan persona ketiga. 1) Sudut Pandang Persona Pertama Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa. Sudut pandang ini terdiri dari aku sebagai tokoh utama, yang menjadi pusat cerita dan aku sebagai aku tokoh tambahan, si aku hanya tampil sebagai saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi orang lain. 2) Sudut Pandang Persona Ketiga Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh bercerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Disebut juga dengan gaya penceritaan diaan. Gaya ini ada dua macam yaitu: (1) pencerita diaan serba tahu dan (2) pencerita diaan terbatas. Menurut Wellek dan Warren (1989:294) disebut sudut pandang dia maha tahu, yaitu pengarang berada di samping karyanya, seperti penceramah yang menerangkan slide atau film dokumenter. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, maupun tindakan. Sudut pandang dia terbatas/sebagai pengamat menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:259) pengarang hanya melukiskan secara mendetail satu tokoh saja atau sebatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Sudut Pandang menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:248) disebut juga point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan, merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Hudson (dalam Panuti Sudjiman,1988:75) menggunakan istilah point of view dalam arti pikiran atau pandangan pengarang yang dijalin dalam karyanya. Jadi sudut pandang adalah cara pandangan/sudut pandang yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. 6. Bahasa dan Gaya Bahasa Bahasa sebagai media dalam karya sastra tidak dapat diabaikan. Bahkan bahasa mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra. Menurut Panuti Sudjiman (1988:84) pencerita seringkali menyajikan percakapan yang dilakukan tokoh-tokoh di dalam cerita, si pencerita menyajikan cakapan atau dialog. Adakalanya tokoh berbicara sendiri atau ekacakap/monolog. Ragam bahasa dalam novel bersifat khas, yaitu ragam sastra. Teeuw (1983:1) menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang tepat. Oleh karena itu untuk memahami bahasa menurut Teeuw (1983:2) agar dalam menganalisis makna sebuah teks haruslah diperlukan kode budaya, kode sastra, dank ode bahasa. Stanton (2007:42) berpendapat gaya bahasa merupakan cara pengungkapan seseorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi, imageri/citraan, maupun sintaksis/pilihan pola kalimat. Sedangkan nada berhubungan dengan pilihan gaya untuk mengekspresikan sikap tertentu. Bahasa dalam prosa bisa pula berupa dialog, walaupun tidak sebanyak seperti dalam drama, tapi dialog dalam prosa sangat penting. Dialog berfungsi untuk menghidupkan cerita. Hal ini sependapat dengan Herman J. Waluyo dan Nugraheni Ekowardani, yang mengungkapkan bahwa fungsi dialog adalah: menghidupkan cerita; menghidupkan watak; memberikan selingan, dan mendeskripsikan watak tokoh-tokohnya. Bahasa dalam dialog merupakan potret percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bahasa adalah sarana yang digunakan oleh pencerita dalam mengungkapkan ide-idenya. Bahasa dalam novel bisa berupa dialog maupun monolog. Dari uraian di depan tadi peneliti berusaha memakai Analisis struktur dalam penelitian ini untuk mengetahui struktur yang meliputi berbagai unsur yang membangun novel Mahligai di Ufuk Timur berupa tema, penokohan, alur dan latar. Penelitian ini menggunakan keempat unsur tersebut karena keempat unsur tersebut mencerminkan sebuah analisis yang terdapat dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. Analisis struktur merupakan sarana untuk mengetahui wujud perspektif gender dan nilai feminisme yang terkandung dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. D. Perspektif Gender Pengertian gender perlu dibedakan dari seks. Seks mengandung arti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrat memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Laki-laki memiliki jakun, bersuara berat, memiliki penis, testis, sperma yang berfungsi sebagai alat reproduksi. Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, mempunyai alat menyusui, dan sebagainya alat-alat biologis tersebut tidak dapat di pertukarkan. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan berbagai ketidakadilan gender (Gender Ineguratics). Namun yang menjadi persoalan adalah ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan bagi kaum laki-laki dan terutama kaum perempuan (Fakih, 2000:12). Dalam memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikontruksikan secara sosial dan kultural melalui proses panjang. Jadi, gender merupakan kontruksi sosiokultural yang pada dasarnya merupakan interprestasi kultur atas perbedaan jenis kelamin (Fakih, 2000:8). Misalnya bahwa wanita dikenal lemah lembut, cantik, setia, dan keibuan, sedangkan pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa. Dengan adanya keseteraan gender muncul pemahaman tentang perbedaan antara jenis kelamin dan peran gender. Perbedaan hakiki yang menyangkut jenis kelamin tidak bisa diganggu gugat, misalnya secara biologis perempuan memiliki kemampuan mengandung dan melahirkan, sementara laki-laki tidak bisa seperti wanita (Fakih, 1997:11). Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan fisik terutama fungsi reproduksi atau sering dikatakan dengan alat yang berfungsi untuk mencapai kepuasan secara biologis. Sedangkan gender tidak selalu berhubungan dengan perbedaan filosofis seperti yang selama ini banyak dijumpai di dalam masyarakat. Gender membagi atribut dan pekerjaannya menjadi maskulin dam feminim, maskulin ditempati laki-laki sedangkan feminim ditempati oleh perempuan (Fakih, 2000:10). Ann Oakley (dalam Abdullah, 1997:284) mengatakan bahwa hubungan yang berdasarkan gender merupakan (1) hubungan antarmanusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hubungan yang hierarkis, yang bisa menimbulkan masalah sosial, (2) gender merupakan konsep yang cenderung deskriptif dari pada eksploitasi tentang tingkah laku, (3) gender memformulasikan bahwa hubungan sistematis laki-laki dan perempuan sebagai natural order atau moral. Abdul Haris (dalam Abullah, 1997:188) menyatakan bahwa gender mempunyai tiga pendekatan yang berfungsi sebagai prinsip, yaitu (1) pendekatan pada permasalahan status sosial dan pertumbuhan ekonomi yang efisien, (2) integrasi penuh perempuan pada pengambilan keputusan, (3) wanita mempunyai kebebasan yang sama dalam menentukan pilihan baik aktivitas ekonomi maupun aktivitas lainya. Dengan metode-metode penyadaran gender dan kemampuan mengorganisasikan aspirasi perempuan maka tercipta kaum perempuan lembut bisa mengenal siapa diri mereka dan tidak terjerat pada pengidealan peran mereka dalam masyarakat. Hasilnya membuat kaum laki-laki sadar bahwa kaum perempuan bisa diajak untuk kerja sama dalam berbagai aktivitas produksi disegala bidang. Dengan adanya penyadaran gender, maka kaum laki-laki mengakui kedudukan kaum perempuan lebih tinggi dari kaum laki-laki. Masih banyak kaum perempuan yang mengalami ketidak adilan gender yang merupakan hak mereka dalam memposisikan sama dengan laki-laki. Hal ini terbukti bahwa kaum laki-laki khususnya yang masih berada dalam lingkungan patriarkal, mereka lebih banyak berperan sentral dalam segala urusan khususnya dalam memilih jalan hidup yang salah satunya adalah tentang profesi. Kaum laki-laki bebas memilih sendiri profesi yang diinginkan tanpa ada orang lain disekitarnya yang peduli. Kondisi seperti itu berbeda dengan yang dialami kaum perempuan. Tetapi dengan perkembangn jaman seperti sekarang ini, kondisi seperti itu sudah tidak ada. Kaum perempuan sudah mengalami berbagai kemajuan dalam pemilihan profesi yang digelutinya, ternyata masih ada pihak-pihak lain yang menentang dan bahkan ingin menghancurkan harapan-harapan mereka. Faktor yang menyebabkan ketidakadilan gender tersebut, antara lain, (1) adanya organisasi laki-laki yang sama sekali tidak memberi kesempatan pada kaum perempuan untuk berkembang secara maksimal, (2) laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, (3) kultur yang selalu memakan laki-laki telah mengakar di masyarakat, (4) norma hukum dan kebijakan politik yang diskriminatif, (5) perempuan sangat rawan pemerkosaan atau pelecehan seksual dan bila ini terjadi akan merusak citra keluarga dan masyarakat (Fakih, 2000:12) Fakih (1999:13-23) mengemukakan bahwa menifestasi ketidakadilan gender antara lain: (1) gender dan marjinalisasi perempuan; (2) gender dan subordinasi; (3) gender dan stereotype; (4) gender dan kekerasan; (5) gender dan beban kerja. Marjinalisasi berarti menempatkan atau menggeser perempuan ke pinggiran. Perempuan dicitrakan lemah kurang atau tidak rasional, kurang atau tidak berani, sehingga tidak pantas atau tidak berani memimpin. Akibatnya perempuan selalu dinomorduakan apabila ada kesempatan untuk memimpin. Marjinalisasi kaum perempuan sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat dan tempat bekerja (Fakih, 1999:14-15). Kaum perempuan sering mendapat diskriminasi oleh anggota keluarga yang laki-laki. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak pantas mendapat pendidikan tinggi, yang memperoleh pendidikan tinggi hanyalah laki-laki, sedangkan perempuan bekerja di dapur. Kekuasan tertinggi ada di tangan laki-laki apapun yang terjadi kaum laki-lakilah yang boleh memberi keputusan (Nunuk, 2004a:ix). Subordinasi terhadap kaum perempuan sering terjadi di dalam masyarakat. Perempuan sering diberi tugas yang ringan dan mudah karena mereka dipandang kurang mampu dan lebih rendah dari pada laki-laki. Pandangan ini bagi perempuan menyebabkan mereka merasa sudah selayaknya sebagai pembantu, sosok, bayangan, dan tidak berani memperhatikan kemampuannya sebagai pribadi. Bagi laki-laki pandangan ini menyebabkan mereka sah untuk tidak memberiakan kesempatan perempuan muncul sebagai pribadi yang utuh. Mereka selalu merasa khawatir apabila satu pekerjaan yang utuh atau berat ditangani oleh perempuan. Laki-laki menganggap perempuan tidak mampu berfikir seperti ukuran mereka (Nunuk, 2004a:x). Pandangan stereotipe masyarakat terhadap perempuan, yakni pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki sudah dibakukan sifat yang sepantasnya, sehingga tidak mampu keluar dari kotak definisi yang membakukan tersebut. Stereotipe adalah pelabelan atau penanda terhadap sesuatu kelompok tertentu, dan stereotipe ini selalu menimbulkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya. Anggapan masyarakat tentang tugas utama kaum perempuan kaum perempuan yang bersolek atau mempercantik diri hanya ingin diperhatikan oleh lawan jenis, dan bila terjadi pemerkosaan atau pelecehan seksual itu merupakan kesalahan perempuan (Fakih, 1999:16). Stereotipe laki-laki atas perempuan diungkapkan dalam bentuk kekuasaan laki-laki untuk melakukan kekerasan fisik, psikis baik verbal maupun nonverbal terhadap perempuan. Kekerasan (Violence) adalah saranan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap semua manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber. Bias gender menjadi salah satu penyebab munculnya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan berdasarkan bias gender disebut sebagi Gender-related violence (Fakih, 1999:17). Contoh tindakan kekerasan terhadap perempuan adalah penggerayangan yang tidak diharapkan oleh pihak perempuan, pelecehan dengan kekerasan fisik terhadap perempuan, pemenjaraan anak perempuan dalam keluarga, iscest, penganiayaan anak perempuan, dan pemukulan istri oleh suami. Bentuk kesetaraan psikis terhadap perempuan berupa pembicaraan jorok yang melecehkan seks perempuan, permintaan hubungan seks ditempat umum, dan ancaman seks lainya (Nunuk, 2004a:xi). Beban kerja yang dimiliki oleh kaum perempuan sangat berat karena harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga mengurus anak. Bagi perempuan kalangan atas kurang biasa merasakan beban ini, tetapi bagi perempuan kalangan ke bawah setiap hari mereka harus merasakan beban tersebut. Apabila, jika perempuan harus memikul beban kerja ganda mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Nunuk, 2004:x). Perspektif gender mempergunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang: politik, ekonomi, sosial, hukum budaya, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang. Menurut perspektif gender, tujuan perkawinan akan tercapai jika di dalam keluarga tersebut membangun atas dasar berkesetaraan dan berkeadilan gender. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan kondisi dinamis, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak, kewajiban, menghargai dan bantu membantu di berbagai sektor kehidupan. E. Kritik Sastra Feminisme Pembahasan tentang perspektif gender tidak bisa lepas dari kritik sastra feminisme. Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan kritik sastra feminisme. Feminis menurut Nyoman Kutha Ratna (2005:226) berasal dari kata femme, berarti perempuan. Menurut Sugihastuti (2002:18), feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme merupakan kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga. Feminisme berbeda dengan emansipasi, Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007:95) menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan. Feminisme menurut Goefe (dalam Sugihastuti, 2002:140) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Sholwalter (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2005:18) menyatakan bahwa dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa perempuan membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya. Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok- kelompok perempuan yang tertindas, utama tertindas oleh budaya partiarkhi. Feminisme berupa gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Berupa gerakan emansipasi perempuan, yaitu proses pelepasan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, yang mengekang untuk maju. Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, bukan upaya melawan pranata sosial, budaya seperti perkawinan, rumah tangga, maupun bidang publik. Kaum perempuan pada intinya tidak mau dinomorduakan, tidak mau dimarginalkan. Sedangkan menurut Sugihastuti (2002:135) analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui pendekatan kritik sastra feminis yang sekarang berkembang di Amerika, yang berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita. Sasaran penting dalam analisis feminis menurut Suwardi Endaswara (2008:146) adalah sedapat mungkin berhubungan dengan: (1) mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan masa kini; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata; (4) mengkaji aspek ginokritik, memahami proses kreatif kaum feminis; dan (5) mengungkap aspek psikoanalisa feminis, mengapa wanita lebih suka hal yang halus, emosional, penuh kasih dan lain sebagainya. Sehingga muncullah istilah reading as a woman, membaca sebagai perempuan, yang dicetuskan oleh Culler, maksudnya adalah membaca dengan kesadaran membungkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2005:19). Membaca sebagai perempuan berhubungan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap bacanya. Citra perempuan dalam karya itu mendapat makna/terkonkretkan sesuai dengan keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu pengarang, teks, dan pembaca. Reading as women menurut Suwardi Endaswara (2008:147) adalah membaca sebagai perempuan. Peneliti dalam memahami karya sastra harus menggunakan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa jenis kelamin banyak berhubungan dengan masalah kenyakinan, ideologi, dan wawasan hidup. Kesadaran khusus membaca sebagai perempuan merupakan hal yang penting dalam kritik sastra feminisme. Analisis novel dengan kritik sastra feminis berhubungan dengan konsep membaca sebagai perempuan, karena selama ini seolah-olah karya sastra ditujukan kepada pembaca laki-laki, dengan kritik ini muncullah pembaharuan adanya pengakuan akan adanya pembaca perempuan. Hal ini dapat dikatakan untuk mengurangi prasangka gender dalam sastra. Kritik sastra feminis menurut Yoder (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002:5) diibaratkan quilt yang dijahit dan dibentuk dari potongan kain persegi pada bagian bawah dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini mengibaratkan bahwa kritik sastra feminis diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat sadar membaca karya sastra sebagai perempuan. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Djananegara berpendapat bahwa kajian feminisme adalah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi perempuan (Wiyatmi, 2006:113). Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempengaruhi banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti dan Suharto, 2005:6). Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan, sosial, baik dalam bidang publik maupun bidang domestik. Dengan lahirnya gerakan feminisme ini, masyarakat mulai terbuka dan sadar akan kedudukan perempuan yang inferior. Gerakan feminisme barat yang diwarnai oleh tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai laki-laki dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan politik. Kini telah banyak perempuan yang masuk kedunia maskulin dan berkiprah bersama-sama laki-laki. Sehingga banyak orang awam melabel feminisme dengan negatif. Kata feminis selalu dilekatkan dengan berbagai stereotipe negatif, misalnya perempuan yang dominan, menuntut, galak, mencari masalah, berpenampilan buruk, tidak menyukai laki-laki, lesbian, perawan tua (lajang), sesat, sekuler, dan sebagainya. Label negatif ini tidak hanya diberikan oleh laki-laki, namun juga kaum perempuan sendiri. Hal itu sependapat dengan Mansour Fakih (2007:78) pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan, maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahaman seperti itu maka feminisme kurang mendapat tempat di kalangan kaum wanita sendiri, bahkan secara umum ditolak oleh masyarakat. Feminisme adalah sebuah paham/aliran yang berusaha memahami ketertindasan terhadap perempuan, dan mencari upaya bagaimana mengatasi ketertindasan itu. Oleh karena itu, seorang feminis adalah seseorang yang berusaha memahami posisi terhadap perempuan dan berupaya mengatasinya. Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007:86-89) feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang terkenal dalam gerakan feminisme antara lain:   1. Feminisme Liberal. Menurut Mansour Fakih (2007:81) asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Feminisme ini berusaha memperjuangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik. Mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua instansi publik untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Mansour Fakih, 2007:81). 2. Feminisme Radikal Menurut Bhasin (dalam Sugihastuti dan Itsna Hadi Saptiawan, 2007:97) feminisme radikal menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki-laki dan perempuan. Menurut aliran ini kekuasaan laki-laki atas perempuan, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol kaum laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan telah menyebabkan penindasan pada perempuan. Hal ini mengakibatkan ketergantungan perempuan secara fisik dan psikologis kepada laki-laki. Feminisme radikal bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), sekisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi domestik-publik. Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. 3. Feminisme Marxis Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologis sebagai dasar pembedaan gender. Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi (Mansour Fakih, 2007:86). Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kereangka kritis atas kapitalisme. Menurut Marx (dalam Sugihastuti, 2007:86) hubungan antara suami dan isteri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis. Bahkan kaum perempuan menurut pandangan kapitalis, dianggap bermanfaat bagi sistemnya karena reproduksi buruh murah. Pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengungguli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan. 4. Feminisme Sosialis Aliran ini menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan. Termasuk didalamnya adalah stereotipe-stereotipe yang dilekatkan pada kaum perempuan. Menurut Mansour Fakih (2007: 90) penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Menurut Herman J. Waluyo, feminisme sosialis memandang bahwa kondisi perempuan ditentukan oleh struktur produksi, reproduksi, seksualitas, dan sosialisasi masa kanak-kanaknya. Kalau ingin memperoleh kebebasan, maka status dan fungsi dalam struktur harus berubah. Sikap rendah diri harus diubah menjadi percaya diri. 5. Feminisme Moderat Feminisme ini menurut Herman J. Waluyo memandang bahwa kodrat perempuan dan pria memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan, dan perlakuan. Karena itu yang penting adalah adanya hubungan yang sejajar antara perempuan dan laki-laki. Kemitrasejajaran ini merupakan pandangan pokok dari gender. Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial. Menurut Nani Tuloli (2000:89) pada umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh perempuan, baik dalam ragam fiksi maupun puisi dapat dikaji dengan pendekatan feminisme. Yang dikaji dalam hubungan dengan tokoh perempuan adalah: (a) peranan tokoh perempuan dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis maupun tokoh antagonis, atau tokoh bawahan; (b) hubungan tokoh perempuan dengan tokoh-tokoh lainnya yaitu tokoh laki-laki dan tokoh perempuan lain; (c) perwatakan tokoh perempuan, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya, dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan; (d) sikap penulis pengarang perempuan dan pengarang laki-laki terhadap tokoh perempuan. Kritik sastra feminis bukan berarti kritik tentang perempuan atau mengkritik perempuan, kritik sastra feminis adalah kritikus memandang dengan penuh kesadaran bahwa ada dua jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Muhammad Nurrahmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo). Namun banyak kaum perempuan yang menerima ketidakadilan gender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Berdasarkan pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntungkan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi. Persamaan hak yang sekarang digaungkan itu lama-kelamaan akan menimbulkan keadaan-keadan yang tidak cocok dengan kodratnya perempuan, lama kelamaan mereka bukan hanya meminta haknya saja tetapi persamaan dalam setiap hak. Misalnya dalam berpakaian dan bergaya. Inilah gambaran realita yang sekarang. Jangan lupa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan tubuh laki-laki karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan. Kodrat perempuan adalah sebagai ibu. Dalam kedudukan itu perempuan adalah berdiri sejajar dan bersamaan derajat dengan laki-laki misalnya dalam bidang pendidikan dan lain sebagainya. Dalam kritik sastra feminis menurut Sugihastuti dan Suharto (2005:23) bahwa konsep-konsep gender digunakan sebagai dasar analisis. Ada lima konsep analisis gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, peranan. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau laki-laki yang diaplikasikan secara nyata. Selain itu menurut Rutven (dalam Muhammad Nurachmat Wirjosutedjo dan Rachmat Djoko Pradopo) bahwa kritik sastra feminis antara lain menelusuri bagaimana perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender dan perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan partriarkhi dalam karya sastra. Dari paparan di depan dapatlah disimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan disegala bidang baik politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta kepentingan perempuan. Kritik sastra feminis adalah studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan cara mencapai tujuan yakni untuk mencapai pokok permasalahan. Demikian halnya dengan penelitian terhadap karya sastra harus melalui metode yang tepat. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Subroto, 1992:5). Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan antologis. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari pada sekedar angka atau frekuensi (Sutopo, 2002:35). Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Kualitatif deskriptif artinya tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan variable (Ammiudin, 1990:16). Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan berupa kutipan kata, kalimat, dan wacana dari novel Mahligai di Ufuk Timur. A. Objek Penelitian Setiap penelitian mempunyai objek yang diteliti. Adapun objek dalam penelitian ini adalah perspektif gender dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. B. Data dan Sumber Data 1. Data Sutopo (2002:35-47) mengatakan bahwa data merupakan bagian yang sangat penting dalam setiap bentuk penelitian. Oleh karena itu yang merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan data harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti. Data dalam penelitian ini berupa kutipan-kutipan kata, kalimat, dan wacana yang terdapat dalam novel Mahligai di Ufuk Timur dengan kritik sastra feminisme. 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan. Kepustakaan adalah sumber data yang diperoleh dari dokumen yang mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang merupakan catatan, transkip, buku, majalah, dan nilai-nilai yang menunjang penelitian (Arikunto, 1986 :189). Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. a) Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data dan penyelidik untuk tujuan penelitian (Suracmad, 1990:160). Data primer dalam penelitian ini adalah novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata.   b) Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder, yaitu data lebih dahulu dikumpulkan orang di luar penyelidik, walau yang di kumpulkan itu adalah data yang asli (Suracmad,1990:163). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku dan artikel yang mempunyai relevansi untuk memperkuat argumentasi dan melengkapi hasil pemelitian ini. C. Teknik Pengumpulan Data Data yang berhasil digali, di kumpulkan, dan dicatat dalam kegiatan penelitian harus diusahakan kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara yang tepat untuk mengembangkan validasi data yang diperoleh. Pengumpulan data dengan berbagai tekniknya harus benar-benar sesuai dan tepat untuk menggali data yang diperolehnya. Pengumpulan data dengan berbagai tekniknya harus benar-benar diperlukan oleh peneliti (Sutopo, 2002:78). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pustaka, simak, dan catat. Teknik pustaka yaitu mempergunakan sumber-sumber tertulis yang digunakan, diperoleh sesuai dengan masalah dan tujuan pengkajian sastra, dalam hal ini tinjauan sastra feminis. Teknik catat adalah suatu teknik yang menempatkan peneliti sebagai instrument kunci dengan melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber primer (Subroto dalam Imron, 2003:356). Sumber data yang tertulis dipilih sesuai dengan masalah dalam pengkajian sastra feminis. Sasaran penelitian tersebut berupa teks novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. D. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Data dalam kutipan ini berupa kata, kalimat wacana dalam novel Mahligai di Ufuk Timur dengan tinjauan sastra feminis. Teknik yang digunakan untuk menganalisis novel Mahligai di Ufuk Timur dalam penelitian ini adalah metode pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembaca heuristik adalah pembacaan yang dilakukan interprestasi secara referensial melalui tanda-tanda linguistik. Pembacaan berasumsi bahwa bahasa bersifat referensial, artinya bahwa harus berhubungan dengan hal-hal yang nyata. Pada tahap ini pembaca menemukan arti secara linguistik. Adapun realisasi pembacaan heuristik ini dapat berupa sinopsis atau gaya bahasa yang digunakan (Riffaterre dalam Imron, 1995:357). Langkah awal dalam menganalisis novel Mahligai di Ufuk Timur dalam penelitian ini adalah pembacaan awal novel Mahligai di Ufuk Timur ini meliputi alur, tema, latar dan penokohan. Langkah selanjutnya adalah pembacaan heuristik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan bolak-balik dari awal sampai akhir. Untuk mengingat peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang telah dibacanya. Tahap pembacaan ini merupakan tahap interprestasi, tahap kedua yang bersifat retroaktif yang melibatkan banyak kode di luar bahasa dan menghubungkannya secara untegratif sampai pembaca dapat membongkar secara stuktural guna mengungkapkan makna dalam sintem tertinggi yaitu makna keseluruhan teks sebagai sistem tertinggi yaitu makna keseluruhan teks sebagai sistem tanda (Riffatarre dalam Imron, 1995:43). Untuk melengkapi sebuah analisis di dalam penelitian ini, maka selain pembacaan heuristik digunakan juga kerangka berpikir induktif. Sutrisno (1982:43) menyatakan analisis induktif dilakukan dengan menelaah terhadap fakta-fakta yang khusus, peristiwa yang kongkret kemudian dari fakta-fakta itu di balik, digeneralisasikan dari sifat yang umum. Proses induktif diawali dengan peristiwa di dalam novel Mahligai di Ufuk Timur kemudian menuju ke hal-hal umum yaitu tentang kejadian yang terjadi di dalam kehidupan nyata. BAB IV PEMBAHASAN A. Sekilas Tentang Proses Kreatif Suparto Brata Pasar Kebo, Sragen, 1939–1941 Pada sebuah rumah tembok dengan pekarangan yang luas, Suparto Brata dan Ibu, dengan seorang pembantu perempuan, hidup bersama. Ibu tidak punya mata pencaharian, hidup kami dengan menjuali atau menggadaikan barang-barang warisan peninggalan leluhur. Suparto Brata dimasukkan sekolah Angka Loro, Sragen Wetan I. Hari pertama Suparto Brata diantar Ibu dengan bawa 5 buku tulis (skrip) dan pensil. Ternyata untuk klas I tidak menggunakan buku tulis dan pensil. Di sekolah telah disediakan batu tulis (sabak) dan anak batu tulis. Jadi buku tulis dan pensil kami bawa pulang. Di rumah, karena buku tulis tadi tidak terpakai, Suparto Brata minta izin ibu untuk Suparto Brata tulisi. Akhirnya buku tulis tadi Suparto Brata corek-corek dengan pensil, dari halaman pertama sampai habis dan menurut garis-garis yang ada di situ, seperti halnya menulis latin. Dan corek-corek tadi Suparto Brata baca keras-keras, asal bicara saja. Kadang-kadang Suparto Brata nyanyikan. Pada hal Suparto Brata sama sekali belum kenal huruf. Ke lima buku tulis habis Suparto Brata tulisi (corek-corek). Sampai sekarang Suparto Brata tidak tahu, mengapa Suparto Brata berbuat begitu. Pelajaran di sekolah membaca dan menulis huruf Hanacaraka. Suparto Brata tidak tahu judul bukunya, mungkin Mulang Maca Basa Jawa. Tiap hari buku itu dibagi di kelas, lalu disuruh baca anak-anak satu-satu, berganti-ganti. Suparto Brata masih hafal beberapa kalimat buku yang tiap hari kami baca keras-keras lembar demi lembar itu: Nini lara mata. Siwa Dipa sila. Pertengahan tahun ajaran bacaan di buku tadi sudah berwujud cerita: Asune Sena. Asune Sena loro. Asune Sena lemu-lemu. Asune Sena mrana. Selain membaca buku yang satu itu tiap hari dengan bimbingan guru, kami juga dilatih menulis halus. Untuk ini kami diberi buku tulis satu-satu, diberi nama murid (pemilik buku), guru menulis kalimat di papan tulis dengan huruf contoh yang baik, lalu murid disuruh menulisnya di buku tadi. Menulisnya menggunakan mangsi dan tangkai pena. Semua keperluan sekolah diberikan dengan gratis. Kami menulis mencontoh tulisan guru di papan tulis menurut aba-aba guru. Tidak boleh mendahului. Misalnya baris pertama, guru menyuruh, “Selarik!”. Baris kedua, “Rong larik!”. Dan seterusnya. Kami menulis, guru berkeliling mengawasi dan membetulkan cara menulis. Anak yang tulisannya jelek, seringkali di bukunya diberi contoh tulisan sama dengan contoh di papan tulis, tetapi menggunakan tinta merah. Tulisan di buku tulis nanti diberi angka oleh guru. Selesai ditulisi ditumpuk lagi di sekolah, tidak dibawa pulang). Selain menulis halus, kami juga diajari mencatat ucapan guru (dikte). Guru mengucapkan kata atau kalimat, sekali dua kali, dan kami disuruh menuliskannya. Selain membaca dan menulis huruf, kami juga diajari berhitung. Pada ajaran berhitung, mula-mula menambah dan mengurangi. Selain tertulis juga mencongak (etung awangan). Kami juga diajari nembang dan mendongeng. Tapi tidak tiap hari, hanya pada hari-hari tertentu, pada pelajaran terakhir. Di rumah, malam hari menjelang tidur, sambil kami berdua (Ibu dan Suparto Brata) tiduran, dengan lampu teplok di atas kepala, Ibu membacakan buku Wong Agung Menak. Suparto Brata tidak tahu judul bukunya, karena buku tadi sudah sobek-sobek, banyak halaman yang hilang (termasuk halaman-halaman pertama), warnanya sudah kuning. Buku huruf Jawa, tembang, dan Ibu membacanya juga macapatan. Tiap malam menjelang tidur Suparto Brata dibacakan buku itu, yang menceritakan lelakon Wong Agung Menak, yang selalu berperang dari negara lain ke negara lainnya. Wong Agung isterinya banyak. Salah satu negara yang Suparto Brata ingat Medayin. Sedang nama orang (pelaku) banyak yang masih Suparto Brata ingat: Umarmaya, Sudarawerti, Sirtupelaheli, Lamdahur, Nusyirwan. Nama-nama tadi sampai sekarang tidak Suparto Brata dapatkan lagi pada buku yang Suparto Brata baca, atau pada pergaulan hidup seterusnya. Eloknya, kata Lamdahur, sering diucapkan oleh orang Jawa untuk orang yang ukuran badannya serba besar. Sama dengan yang diceritakan di buku bacaan Ibu tadi. Jadi, kalau nama itu asalnya dari cerita buku, dari mana orang Jawa mengetahuinya? Cara belajar mengajar seperti itu juga dilakukan ketika naik ke kelas II. Yaitu tiap hari membaca buku yang bukunya disimpan di sekolah. Menulis halus. Dikte. Berhitung. Tentu saja pelajarannya meningkat lebih sukar. Misalnya berhitung, selain menambah dan mengurangi, diajari membagi dan mengalikan. Cara mengerjakan soal hitung, tidak boleh hanya dilingkari angka akhirnya, melainkan harus ditunjukkan bagaimana bisanya mendapatkan angka akhir itu. Sedang buku bacaan di kelas II, sudah merupakan buku bacaan cerita seri. Bukunya cerita Siti Karo Slamet. Karena selalu diulang-ulang tiap hari membaca bab yang sama, maka ada bab yang Suparto Brata hafal sampai sekarang. Subjudulnya Tampa bestelan. Wong-wong lagi wiwit padha mangan, krungu swara, “Kulanuwun”. Slamet metu, cangkeme isih mucu-mucu. “Ana wong nggawa besek, Pak.” “Cangkemmu resikana dhisik, banjur wonge takonana, arep apa?” Masih dengan huruf Hanacaraka. Di kelas II, kami mulai diajari membaca dan menulis huruf latin. Belum disuruh membaca buku. Tapi caranya juga seperti waktu di kelas I, yaitu menulis halus, dan dikte. Suparto Brata ingat tulis halus di papan tulis yang harus kami turun di buku tulis, bunyinya Katjang idjo. Lalu di buku tulisku baris pertama tertulis: Katjang idjo. Karena masih ada sisa pada baris tadi, lalu Suparto Brata tambah Katjang i… Kertasnya tak bersisa. Baris kedua, ke tiga, dan seterusnya juga begitu. Sehingga kalau Suparto Brata baca dari baris pertama sampai baris akhir, bunyinya: Katjang idjo. Katjang i. Katjang idjo. Katjang i. Naik kelas III, cara ajar mengajar tetap sama. Paling banyak ajaran membaca buku dan menulis. Pada kelas III buku bacaan yang dibagi dan dibaca bergantian sudah beberapa jenis. Jenis yang tulisannya Hanacaraka adalah: Kembang Setaman. Buku ini kumpulan cerita macam-macam. Di kelas III disuruh membaca bergantian dan disemak bersama seluruh kelas Kembang Setaman jilid I. Jumlahnya sampai Kembang Setaman jilid III, tapi jilid selanjutnya nanti dibaca di kelas IV. Diajarkan juga dengan menyemak buku Maca Titi, Basa lan Carita. Buku ini memuat fragmen cerita, lalu ada keterangan arti kata-kata yang sukar, lalu murid disuruh menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan cerita yang lalu, disuruh bercerita lisan dengan bahasanya sendiri, disuruh mengarang kalimat dengan kata-kata tertentu, dan juga kadang-kadang disuruh mengarang tertulis cerita tadi tanpa menyemak buku. Ada juga gambar seri empat kotak yang mewujudkan suatu cerita (semacam komik zaman sekarang), murid disuruh meneliti gambarnya urut dan disuruh memberi teks, atau disuruh bercerita baik lisan maupun tertulis. Kecuali itu masih buku bacaan huruf Hanacaraka yang harus dibaca dan disemak bersama yaitu buku yang judulnya (kalau tidak salah) Panggelar Budi. Ada dua jilid, yang satu bercerita tentang kehidupan dua ekor bajing, yang lain tentang kehidupan dua ekor nyamuk. Karena sudah diajari membaca dan menulis huruf latin, maka ada buku bacaan huruf latin juga yang harus dibaca dan disemak bersama seluruh kelas, yaitu Koentjoeng Karo Bawoek. Suparto Brata masih ingat bab I, bunyinya: Man, Man Sariman. Sariman isih enak-enak anggone dhudhuk-dhudhuk. Diundangi embokne ora sumahur. Marga parabane Koentjoeng. Jadi di kelas III saja, kami sudah diharuskan membaca buku Kembang Setaman I, Panggelar Budi, Maca Titi, Basa lan Carita, Koentjoeng Karo Bawoek. Dan menulis halus dan dikte tetap diajarkan. Pelajaran berhitung juga bertambah sulit, misalnya diajari cara membagi bilangan dengan para gapit, hitung soal pertanyaannya dengan susunan kalimat, murid mengerjakannya dengan juga menyusun kalimat yang menunjukkan bagaimana caranya mendapatkan hasil akhir. Tidak hanya melingkari angka hasil akhir (tebak-tebakan). Pelajaran mendongeng, menembang juga terus diajarkan, dan tiap anak juga mendapat giliran untuk mendongeng dan menembang di depan kelas. Rumah Bupati Sragen, 1941 – 1942. Karena Ibu sudah tidak punya lagi penghasilan, sedang Suparto Brata sudah terlanjur masuk sekolah di Sragen, maka Ibu melamar pekerjaan jadi pembantu rumah tangga pada Bupati Sragen, Mr.R.M.T.A. Wongsonagoro. Sebelumnya Ibu tidak kenal sama sekali dengan keluarga Bupati Sragen itu. Ibu diterima sebagai emban (pengasuh khusus) putri bupati yang sudah remaja (anak nomer 4), R.Aj.Sridanarti, sedang Suparto Brata menjadi pengasuh putranya yang bernama R.M.Tripomo (anak nomer 6). Sridanarti sudah sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,perguruan yang lebih berkembang dari sekolah rendah = SMP) di Solo, sedang adik-adiknya (nomer 5, R.Aj.Tanti) masih di ELS (Europeesche Lagere School = sekolah rendah untuk bangsa Eropa) di Sragen. Suparto Brata naik kelas IV. Di sini pelajaran membaca buku dan menulis buku kian ketat. Buku bacaan wajib sehari-hari di kelas antara lain: Kembang Setaman jilid II, III. (Hanacaraka). Ontjen-ontjen (bahasa Jawa tulisan latin). Karena sudah diajari bahasa Melayu, maka ada bacaan Matahari Terbit, I, II, III. Selain itu anak kelas IV harus meminjam buku di perpustakaan sekolah (ada satu almari penuh buku terbitan Balai Pustaka, berbahasa Jawa huruf hanacaraka, bahasa Jawa huruf latin, bahasa Melayu). Tiap anak harus pinjam buku untuk dibaca di rumah, paling tidak satu buku untuk dibaca selama dua minggu, dan itu didaftar oleh guru kelas. Dan pada kesempatan-kesempatan tak terduga guru kelas menyuruh muridnya menceritakan secara lisan apa buku yang sedang dipinjam, itupun diberi angka (nilai) rapot kenaikan kelas. Sepanjang di kelas IV itu Suparto Brata sudah membacai buku perpustakaan: Alap-alap Surtikanthii, Abimanyu Kerem (cerita wayang, hanacaraka), Kucing Setiwelan (bahasa Jawa tulisan latin yang pertama kali Suparto Brata baca habis), Kraton Marmer, Ali Baba, Putri Joharmanik,Pak Banjir Jamu Turu, Ni Wungkuk ing Bendhogrowong (dan beberapa buku Suparto Brata lupa judulnya, itu semua bahasa Jawa huruf latin). Yang berminat membaca buku di kelas IV bukan Suparto Brata sendiri, hampir semua murid diharuskan membaca buku yang kemudian jadi kegemaran. Jadi misalnya Suparto Brata habis membaca Abimanyu Kerem, pada kesempatan di luar pelajaran kelas, kami bisa berdiskusi bebas mengenai cerita Abimanyu Kerem yang baru Suparto Brata baca dan dibaca oleh teman itu. Pelajaran lain selain membaca buku setiap hari, adalah berhitung. Ada berhitung soal, ada berhitung bilangan. Pada pelajaran tadi murid juga harus menulis kalimat yang menunjukkan caranya mendapatkan hasil akhir. Begitu pula ketika menggarap hitung bilangan. Mata pelajaran lain lagi, misalnya ilmu bumi, karena tidak ada buku panduan (cetakan) maka tiap kali pelajaran ditambah guru menulis pelajaran tadi di papan tulis (dari catatan guru sendiri), misalnya menulis begini: Kabupaten Sragen. Kabupaten Sragen terdiri dari….Hasil buminya, banyaknya penduduk…… Murid-murid disuruh mencatat di buku tulisnya masing-masing. Setelah itu murid disuruh menghafal dari buku catatan masing-masing, pada pelajaran selanjutnya ditanyai dan diberi angka. Begitu pula menggambar peta, karena tidak ada buku panduan (cetakan) maka murid disuruh menggambar peta, menurun peta bumi yang digantungkan di kelas. Menggambar peta Kabupaten Sragen juga tidak hanya satu kali. Setelah gambar selesai dalam 4 minggu (4 mata pelajaran), diberi angka, lalu disuruh lagi membuat lagi. Dengan menggambar lagi, menggambar lagi, peta yang digambar kian dihafal di kepala. Setelah peta Kabupaten Sragen, lalu menggambar peta Kerajaan Surakarta. Lalu peta Provinsi Jawa Tengah. Selama di kelas IV kami sudah menggambar peta sampai seluruh Pulau Jawa. Sampai kelas IV itu keperluan buku tulis, buku gambar diberi gratis dari sekolah. Pensil warna untuk menggambar peta bumi juga bisa dipinjam dari sekolah, tiap dua tiga orang anak disuruh tanggung jawab sakardus tempat pensil yang terdiri dari 12 batang pensil warna. Dicatat oleh guru. Pensil warna tidak boleh dibawa pulang, jadi mengerjakan gambar peta harus di kelas, selesai pelajaran pensil dikumpulkan kembali. Jadi dalam mata pelajaran apa pun, guru mencatatkan di papan tulis, sedang murid pasti disuruh mencatat di buku tulis masing-masing. Artinya baik guru maupun murid punya kebiasaan membaca dan menulis. Tidak membeli buku (cetakan). Kegilaan Suparto Brata membaca cerita buku bukan saja dengan para teman kelas IV, melainkan juga di Rumah Bupati Sragen, ada yang suka membaca buku. Antara lain Istri Bupati, dan R.Aj. Tanti (anak nomer 5). Kekurangan bacaan, mereka menyuruh Suparto Brata mencari buku sewaan di luar sekolah. Dari perpustakaan di luar sekolah Suparto Brata menemukan buku-buku yang tidak ada di perpustakaan sekolah, dan satu buku di rumah bisa kami baca bergiliran. Karena cara mengembalikan buku waktunya singkat, biasanya Suparto Brata tidak kebagian waktu membaca, maka diakali yang membaca R.Aj. Tanti dikeraskan, Suparto Brata hanya mendengarkan. Anak yang sebaya denganku boleh bermain apa saja, tapi kami berdua biasanya menghabiskan waktu dengan membaca buku berduaan. Dari sewa perpustakaan itu Suparto Brata (dan R.Aj.Tanti) bisa kenal Tarzan Kethek Putih (tiga jilid), Tarzan Bali (dua jilid), Ngulandara, Sri Kumjenyar, Ayu Ingkang Siyal, Gambar Mbabar Wewados, Tri Jaka Mulya, Badan Sepata (7 jilid), Sala Peteng, Topeng Emas (hanacaraka), Mak Tjoen, dan banyak lagi. Semua bahasa Jawa. Putra-putra Bupati semua sekolah Belanda. Di rumah juga berlangganan Trommel Tijdschrift (kotak berisi majalah-majalah yang dipinjamkan selama sepekan atau dua pekan diganti kotaknya dan majalah di dalamnya), isinya majalah-majalah bahasa Belanda. Mula Suparto Brata suka melihat-lihat gambarnya saja, tetapi kemudian oleh R.Aj.Tanti Suparto Brata mulai diperkenalkan dengan bacaan bahasa Belanda. Dia membaca dan menterjemahkan, dan Suparto Brata juga sering-sering disuruh mengucapkan serta ditanyai artinya. Kami jadi suka membaca majalah bahasa Belanda itu. Antara lain yang Suparto Brata ingat judulnya: de Lach (majalah hiburan, banyak gambar dan cerita yang menimbulkan pembaca tertawa) dan d’Oriënt. Van Strippiaan Surabaya, 1942 – 1945 Jepang masuk. Mr. Wongsonegoro dipindahkan ke Semarang. Sebelum Mr. Wongsonegoro dipindah ke Semarang, Ibu sudah minta keluar jadi pembantu, dan Ibu pindah ke Surabaya (mendekati keluarga ayah yang banyak di Surabaya, bahkan kakak Suparto Brata Soewondo yang umurnya 10 tahun lebih tua dari Suparto Brata juga sudah bekerja di Marine Surabaya). Sekali lagi Ibu menjadi pembantu rumah tangga kemenakannya, Ny. Sarwosri Suharto Suryohartono, di van Strippiaan Leuseusstraat 31 (sekarang Jalan Kalasan) Surabaya. Suparto Brata disekolahkan di SR. Jalan Mundu (depan stadion Tambaksari), tapi kemudian seluruh sekolah dipindah ke SR. Mohan Gakko Jalan Canalaan 121 (sekarang Kusumabangsa, sebelah utara THR). Pada zaman Jepang tidak lagi diberi buku tulis gratis. Tetapi guru tidak mau tahu pencatatan mata pelajaran ditulis di mana, murid harus mencatat dan menghafalkannya, nanti ditanyai di kelas, dan diberi angka. Dan tiap bulan sekali diadakan ulangan tertulis, pada ulangan ini baru murid diberi selembar kertas untuk mengerjakan soal-soal. Pensilnya bawa sendiri-sendiri. Tidak ada buku bacaan khusus di kelas. Tetapi tiap hari murid harus belajar bahasa Nippon. Caranya, guru menulis cerita di papan tulis dengan huruf katakana. Murid mencatat, disuruh membaca dan menghafal, lalu dibicarakan bersama. Membaca dan menulis huruf katakana selalu diajarkan setiap hari. Guru kami, Pak Suwarno, Pak Martias, Pak Gunadi (selama zaman Jepang berpindah dan berganti kelas) semua sudah pandai bicara bahasa Jepang dan mengajari membaca dan menulis bahasa Jepang kepada murid-muridnya di sekolah. Tiada hari tanpa membaca dan menulis di kelas, dalam segala mata pelajaran apa pun. Bahkan pada pelajaran bahasa Jepang, membaca, menulis dan bicara bahasa Jepang itu digemblengkan setiap hari, dicari murid yang pandai membaca, yang pandai berbicara, lalu tiap 4 bulan sekali diadakan lomba membaca dan berbicara bahasa Jepang (yomikata, hanashikata) bagi murid seluruh sekolah rakyat di Kota Surabaya. Penyelenggaraannya di Kantor Pengajaran di Jl. Jimerto 23, sekarang jadi bangunan masjid Muhajirin). Di sekolah juga ada perpustakaan buku-buku Balai Pustaka. Suparto Brata mulai kenal membaca buku bahasa Indonesia (sejak Jepang masuk, bahasa Melayu disebut bahasa Indonesia, Japan atau Jepun disebut Jepang atau lebih lazim Dai Nippon). Dan kegilaan Suparto Brata membaca buku juga tidak berhenti. Buku-buku bahasa Jawa juga terus Suparto Brata baca, buku bahasa Indonesia juga mulai Suparto Brata gemari. Mula-mula suka membaca buku-buku cerita alam Minangkabau seperti: Cinta Yang Membawa Maut, Teman Bergelut, Siti Nurbaya, lalu merambat ke buku-buku lain seperti Percobaan Setia, Anak Perawan Di Sarang Penyamun, Salah Asuhan, Saputangan Fantasi, dan tidak terbendung lagi membacai buku lainnya. Malah merembet buku terjemahan dari bahasa asing, seperti: Tiga Orang Panglima Perang/ Alexadre Dumas (4 jilid), Sepanjang Jalan Raya/Jeffery Farnol (3 jilid), Hilang Tak Tentu Rimbanya/Conon Doyle, dan lain-lain. Mangunharjo Probolinggo, 1946 -1947 Karena Pertempuran 10 November 1945, Ibu, kakak dan Suparto Brata mengungsi ke Probolinggo. Di sana ada makam Bapak, dan kami menempati rumah yang telah ditempati Bapak semasa akhir hidupnya (milik Pak Saleh, pengusaha di Probolinggo). Tempatnya di Kampung Mangunharjo. Kakak yang lulusan MULO dan pandai teknik radio, bekerja di Jawatan Listrik dan Gas (PLN sekarang) sebagai pencari nafkah, Ibu pengelola rumah tangga dan Suparto Brata hanya membantu mengelola rumah saja, sambil sekolah. Kakak Suparto Brata seorang tekniker, selalu bernasihat bahwa kalau ingin hidup mapan harus menguasai teknik. “Teknik! Teknik! Teknik! Kuasailah teknik!” kata kakakku. Di sekolah Suparto Brata memang juga jago Ilmu Ukur, Ilmu Alam dan Aljabar. Otak IPA yang cocok untuk menguasai teknik, seperti kakak Suparto Brata. Tetapi pergaulan di sekolah juga tidak lepas dari membaca buku cerita. Ada perpustakaan buku-buku Balai Pustaka. Maka masih kelas VI, lalu naik ke SMP kelas I, Suparto Brata dan teman-teman di sekolah pada asyik membaca buku. Mengaso di luar pelajaran yang kami percakapkan buku-buku yang sama-sama sedang dan baru habis kami baca. Don Kisot, Graaf de Monte Cristo, Anjing Setan, Pacar Merah. Kami tidak kehabisan bacaan buku. Teman akrab Suparto Brata yang juga suka baca dan diskusi buku Ruba’i Kacasungkana (kemudian jadi wartawan Surabaya Post). Bukan murid-murid teman sekolah saja yang membaca buku-buku (sastera) juga waktu itu lagu-lagu ciptaan baru berkumandang populer (meskipun hanya lewat radio atau dari mulut ke mulut), antara lain lagu Malioboro, yang menggambarkan suasana Jalan Malioboro Jogja saat itu. Ada syairnya yang berbunyi: Ada Don Kisot mengaku patriot. Kata Don Kisot bukanlah dongeng yang dikisahkan dari mulut ke mulut, tetapi dari buku sastera dunia (karangan Miguel de Cervantes, Sepanyol 1605-1615). Dari syair itu jelas bahwa pengarang lagu tadi tentu sudah membaca buku tentang Don Kisot yang mengisahkan pahlawan yang penampilannya sama dengan para patriot bangsa Indonesia saat itu, rambut gondrong karena terlalu lama di front. (Bandingkanlah dengan pengarang lagu Indonesia zaman sekarang, misalnya lagu Cocakrowo, Suparto Brata yakin pengarang lagu tadi tidak membaca sastra/buku, maka selera dan moralnya beda). Pelajaran membaca buku khusus memang tidak ada. Tetapi cara mengajarkan pelajaran apa saja sistemnya tetap sama seperti dulu, yaitu guru menulis di papan tulis pelajaran tadi, murid-murid disuruh mencatat di buku masing-masing, lalu disuruh menghafal dan nanti diberi angka. Dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya guru menulis di papan tulis: Awalan me. Guna awalan me adalah…… Pada pelajaran bahasa Indonesia itu termasuk pelajaran mengarang cerita (bahasa Indonesia), membuat kalimat, dan juga kadang-kadang guru sengaja tidak menulis di papan tulis, melainkan mata pelajaran barunya didiktekan. Di SMP (1947) cara mengajar juga tetap seperti itu, termasuk pelajaran sejarah, bahasa Inggris, ilmu ukur. Guru menulis di papan tulis, murid mencatat di buku masing-masing. Pada pelajaran bahasa Inggris, membaca, menulis dan dikte sangat ditanamkan. Di SMP (1947) ada seorang teman (Moedjiono) yang mengedarkan selembar kertas dari sobekan buku tulis ditulisi warta berita (tulisan tangan) dengan nama Api Murid. Suparto Brata pun menyaingi membuat warta berita seperti itu, tidak hanya pada sobekan selembar kertas buku tulis, melainkan 6 lembar sobekan kertas buku tulis Suparto Brata tembel-tembel jadi satu, Suparto Brata tulisi bolak-balik berita apa saja dengan tulisan tangan karangan Suparto Brata sendiri. Suparto Bratang baru beredar satu kali, harus Suparto Brata tinggalkan pergi mengungsi ke pedalaman (kembali ke Sragen), karena Probolinggo diduduki oleh pasukan Belanda (21 Juli 1947). Kami meninggalkan Probolinggo tidak bersamaan waktu maupun tujuannya. Kakak lebih dulu pergi ke Surabaya, karena mau mengungsi ke desa ya ke mana, tetap di kota ya dicurigai baik oleh Belanda maupun para gerilyawan Republik Indonesia. Maka diputuskan pergi ke Surabaya dengan alasan dari pengungsian (Probolinggo) kembali ke kampung halaman asalnya (Surabaya) serta mencari pekerjaan. Pergi, lalu tak berkabar. Ibu ke Sidoarjo (Bapak dan Ibu pernah mengarungi hidup keemasan di Sidoarjo), ikut Haji Rokhayah di Jasem, Haji Rokhayah adalah teman Ibu lama yang ketika itu (1947-1948) memproduksi jadah iyas. Suparto Brata menyeberang ke daerah Republik Indonesia yang tidak diduduki oleh tentara Belanda, ke rumah Pasar Kebo Sragen, ikut Bu Dhe. Gresikan Surabaya, 1948 -1950. Suparto Brata disusul Ibu, diajak kembali hidup bersama bertiga (Ibu, kakak dan Suparto Brata) di Surabaya seperti waktu di Probolinggo, menempati rumah Gresikan II/23 (rumah Bu Lik yang ditinggal mengungsi ke Madiun). Bisa masuk sekolah lagi tahun 1949, di SMPN II Jl. Kepanjen Surabaya. Akhir tahun Surabaya kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Tahun 1950 kakak dikirimkan study ke Negeri Belanda, Ibu kembali ikut keluarga leluhur di Solo, karena ingin menyelesaikan sekolah (SMP) maka Suparto Brata bertahan hidup sendiri di Surabaya. Bu Lik dan keluarga sudah kembali dari Madiun, menempati rumah Gresikan, Suparto Brata harus cari kehidupan sendiri. Suparto Brata jadi loper Djawa Pos (pabriknya di Kembang Jepun), daerah edar Suparto Brata di sekitar Ampel. Sementara itu dari pengalaman membuat suratkabar di Probolinggo Suparto Brata ingin memasukkan karangan atau berita ke suratkabar atau majalah, berkali-kali Suparto Brata tulis, tetapi belum ada yang diterima/diterbitkan. Imam Bonjol Solo, 1950 - 1951 Suparto Brata lulus SMPN II Jl. Kepanjen Surabaya 1950, karena tidak ada orang yang Suparto Brata tanyai maka hari lahir Suparto Brata Suparto Brata karang sendiri, 16 Oktober 1932, itulah yang tertulis di ijazah, dan menjadi KTP seumur hidup. Kembali ikut Ibu ke Solo. Ibu hanya menumpang di rumah sanak saudara (antara lain di Jl. Imam Bonjol 38, yang kemudian ditempati/markas Theater Gapit, theater bahasa Jawa). Suparto Brata menganggur, belajar les ngetik, pergi ke perpustakaan (di Alun-alun Utara), di sana kenal bacaan-bacaan sastera, seperti Tiga Menguak Takdir, Percikan Revolusi/Ananta Toer, Dari Negeri Bulan dan Bintang/Bahrum Rangkuti, Dari Penjara ke Penjara/Tan Malaka, Raja Minyak/Karl May. Meski menganggur, membaca buku tidak pernah berhenti. Juga menulis buku harian. Di saat itu Suparto Brata menemukan bahwa hari lahir Suparto Brata (Suparto Brata cocokkan dengan hari lahir bulan-tahun Jawa penuturan Ibu) adalah 27 Februari 1932. Tahun 1951 ada bukaan sekolah SMA Katholik di Nonongan. Suparto Brata mendaftarkan diri, dan masuk (kemudian menjadi SMAK St Joseph, tempat WS Rendra belajar, dan ayahnya pun mengajar di situ). Di situ Suparto Brata mencoba mengarang dan mengirimkan karangan ke majalah di Jakarta. Karena tidak punya mesin ketik (dan belum bisa mengetik cepat), Suparto Brata minta tolong teman sebangku, Mong Boen Kiat, untuk mengetikkan karangan Suparto Brata, Suparto Brata dikte. Tetapi juga tidak berhasil (ditolak redaksi). Karena penghasilan Ibu sangat tidak memadai, Suparto Brata terpaksa pergi ke Surabaya, mencari pekerjaan, dan keluar (pakai surat pindah) dari SMAK Solo. Jasem Sidoarjo, 1951. Atas rekomondasi seorang Paman, semula Suparto Brata dapat pekerjaan di Rumah Sakit Kelamin (gedungnya di Jl. Dr. Sutomo, di belakang patung Polisi Istimewa, saat itu belum jadi patung, tetapi kantor pos pembantu), sedang rumah Suparto Brata di Jl. Jasem 19 Sidoarjo, rumahnya Pak Kir, di mana Suparto Brata bisa mondok dengan gratis. Jadi tiap pagi berangkat kerja ke Surabaya dengan naik sepeda ontel, pulang juga begitu. Suparto Brata tidak kerasan bekerja di situ, karena tidak ada mesin ketik, tidak bisa mengarang. Meskipun begitu ada karangan Suparto Brata yang bisa dimuat di Majalah Aneka, majalah olahraga dan seni, pimpinan Gayus Siagiaan, meskipun karangan itu Suparto Brata tulis dengan tangan. Dan Suparto Brata dapat honorarium. Jagiran, Undaan Kulon, Keputran Surabaya, 1951-1952 Maka ketika ada iklan untuk menjadi operator teleprinter di kantor pos, Suparto Brata pun melamar dan berhasil masuk jadi operator teleprinter (1951). Dikursus dulu setahun. Mengetik 10 jari jadi keharusan. Karena sudah dapat gaji tetap (selagi kursus), Suparto Brata pindah rumah mondok di Surabaya, Jalan Jagiran 35 Surabaya, rumah teman Suparto Brata di SMP dahulu, Totje Sudarto, putra Ibu Sudarman, isteri mantan Bupati Bondowoso. Lalu pindah pondokan di rumah teman yang lain, Joko Suharto, putranya Pak Aminin (pegawai Kantor Gubernur) di Jalan Undaan Kulon 109. Tahun itu kakak pulang dari Negeri Belanda, lalu mengajak Ibu (yang masih mondok di keponakannya di Solo) dan Suparto Brata membentuk rumah tangga dengan menyewa rumah di Keputran Kejambon (di tengah kampung). Karena tidak lagi mengeluarkan uang untuk bayar pondokan, maka uang saku kursus Suparto Brata gunakan untuk berlengganan majalah Siasat dan Mimbar Indonesia, dengan begitu Suparto Brata bisa mengikuti perkembangan sastera Indonesia. Dan sekali-sekali mengirimkan karangan ke sana. Karangan tadi semula Suparto Brata tulis dengan tangan dulu pada kertas bekas seluruhnya, baru pagi-pagi benar sebelum pelajaran kursus dimulai, Suparto Brata ketik di kantor. Selama di Keputran karangan-karangan Suparto Brata muncul di majalah Siasat (pemimpin redaksi Rosihan Anwar), Mimbar Indonesia (pemimpin redaksi H.B.Yasin), Garuda, dan entah di mana lagi. Dengan naskah-naskah yang Suparto Brata ketik di kantor, karangan-karangan Suparto Brata mulai laku diterbitkan majalah dan suratkabar. Rangkah Surabaya 1952 - 1960 Karena habis kontraknya tahun 1952 kami meninggalkan rumah sewa di Keputran Kejambon, pindah ke Rangkah 5/23B (rumahnya Pak Mariyun). Tahun 1953 kakak dipindah pekerjaannya ke Bandung. Mula-mula Ibu tetap dengan Suparto Brata, ke Bandung hanya menengok kakak ketika Suparto Brata cuti, tapi kemudian ikut kakak pindah ke Bandung, hingga Suparto Brata di rumah Rangkah 5/23B itu seorang diri saja. Tahun 1954 teman-teman di kantor pada mau meneruskan sekolah (sambil tetap bekerja di kantor). Suparto Brata juga berhasrat begitu, maka Suparto Brata pun (dengan rapot dan surat pindah dari SMAK Solo) masuk ke SMAK St. Louis, Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Bekerja sambil sekolah, menyewa rumah sendiri, seorang diri, di Rangkah 5/23B Surabaya. Jadi jadwalku sehari-hari: 07.00 – 13.00 sekolah di St. Louis (Jl. Dr. Sutomo 7), 13.00 – 19.00 bekerja sebagai operator teleprinter di Kantor Telegrap (Jl. Niaga 1, sekarang Jl.Veteran), 19.00 – 07.00 di rumah Rangkah 5/23B, sendirian. Makan hanya beli roti tawar ketika pulang kantor lewat Jl. Jagalan, dimakan setelah di rumah, dan untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah. Makan siang di kantin kantor. Meskipun jadwal sangat ketat, karangan Suparto Brata masih bisa terbit di majalah Siasat, teman-teman Suparto Brata di sekolah Suparto Brata pameri. Teman Suparto Brata sekelas di St.Louis antara lain Ir. Johan Silas. Tahun 1956 Suparto Brata selesai sekolah di SMAK St.Louis. Setelah tidak sekolah lagi banyak sekali waktu luang. Kalau cuti Suparto Brata menjenguk kakak dan Ibu ke Bandung. Suparto Brata berlangganan majalah-majalah dari Jakarta: Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Seni, Buku Kita, Kisah. Dan dari Jogya: Budaya. Dari membacai majalah ini Suparto Brata bisa menyemak kegiatan budaya tulis-menulis sastera, dan sekali-sekali Suparto Brata mengirimkan karangan ke sana. Suparto Brata juga menjadi pelenggan mengunjungi perpustakaan milik Amerika Serikat: USIS (dulu gedungnya di Jl. Pemuda, sekarang mungkin sudah jadi bagian barat dari Surabaya Plaza), di mana Suparto Brata bisa belajar membaca buku bahasa Inggris dan sastra dan budaya Amerika Serikat, misalnya Theodore Dreiser, John Dos Passos, Ernest Hemingway, Robert Penn Warren, John Hersey, Sinclair Lewis, Lloyd C. Douglas, Eugene O’Neill, Jr. (banyak lagi yang tidak bisa Suparto Brata tuliskan di sini, maaf penulisan nama mungkin salah eja karena Suparto Brata tulis luar kepala). Di sini Suparto Brata menemukan buku kumpulan 10 drama terbaik tiap tahunnya (Penerbit Dodd, Mead & Company, The Best Plays, edisi Louis Kronenberger. Tiap tahun sekali terbit sejak tahun 1918, memuat kritik-kritik dan dihiasi gambar karikatur tokoh drama lukisan Hirchfeld, dan 10 ringkasan cerita sandiwara baru terbaik musim itu. Suparto Brata bisa mencatat lengkap hal ini karena soal drama di Amerika ini pernah Suparto Brata tulis di majalah Aneka, No. 25 Th X, 1 November 1959, Suparto Brata punya klippingnya) antara lain drama karangan Friedrich Duerrenmatt, yang sudah dipentaskan di Amerika dan menjadi penulisan/pementasan 10 drama terbaik tahun itu (Suparto Brata lupa tahunnya). Nanti, setelah Suparto Brata mulai getol menulis bahasa Jawa, buku itu Suparto Brata pinjam lagi, dan drama tadi Suparto Brata sadur dalam basa Jawa jadi Sanja Sangu Trebela. Ceritanya jadi sangat populer waktu itu karena pelenggan majalah Penjebar Semangat 80.000 lebih (dan dari tiap pelenggan banyak sekali yang dibaca oleh 5 orang anggota keluarga plus tetangganya), sedangkan majalah sastra seperti Kisah, paling-paling hanya dicetak 8.000 eks tiap terbit. Pada zaman itu tidak ada majalah atau suratkabar berbahasa Indonesia yang dicetak lebih dari 30.000 eks tiap terbit. Konon, sandiwara (play) karangan Friedrich Duerrenmatt tersebut pada tahun 1990 dipentaskan oleh Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Goethe Institute dengan sutradara Arifin C. Noor. Yaitu setelah 28 tahun sebelumnya sudah Suparto Brata sadur dalam bahasa Jawa (28 tahun sebelumnya sudah dinikmati oleh pembaca sastra Jawa). Dan entah bagaimana Suparto Brata lupa, meskipun bukan pengarang Amerika Suparto Brata juga berhasil membaca buku The Brothers Karamazov terjemahan bahasa Inggris karangan Feodor Dostoevski, (complete and unabridged) di perpustakaan USIS. Juga Dr. Zivago, Suparto Brata temukan terjemahannya bahasa Inggris di perpustakaan itu. Lebih dulu Suparto Brata baca sebelum ada edisi terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Di kantor, tidak seorang pun teman yang bisa diajak bicara tentang sastra. Suparto Brata juga tidak punya teman sepergaulan di kota. Pada tahun itu (1956) Suparto Brata bertemu dengan Ruba’i Kacasungkana, yang bekerja jadi penterjemah proyek pembangunan perumahan di Semen Gresik (pabrik semennya sedang mau dibangun). Dia mau mondok di tempat Suparto Brata. Suparto Brata setuju, dan kami pun berumah bersama. Teman Ruba’i banyak seniman, baik lukis maupun musik (sebelum jadi penterjemah dia sekolah musik di Jogya), antara lain Karyono Js (pelukis dan pejabat di PD&K), Slamet Abdulsyukur (teman sekolah musik di Jogya). Mereka sering datang ke rumah. Bahkan akhirnya dengan pengantar Karyono Js, Ruba’i bisa jadi wartawan di Surabaya Post pimpinan Abdul Azis (ketika itu Surabaya Post masih berwujud tabloid). Tahun 1956 terjadi perubahan besar. Perusahaan Belanda dinasionalisasi. Orang-orang Belanda tidak boleh lagi mengelola perusahaannya. Bahasa Belanda dihapus, tidak diperkenankan koran berbahasa Belanda. Suratkabar Soerabaiasche Niews Handelsblad (koran yang paling tua dan tirasnya ribuan) harus ditutup. Perusahaan itu lalu diberikan kepada Surabaya Post pimpinan Abdul Azis, baik pelengganannya, pegawainya, wartawannya, maupun iklan-iklannya. Ruba’i menjadi wartawan suratkabar besar. Pergaulannya menjadi lebih luas, baik dengan seniman maupun wartawan dan pejabat kota. Suparto Brata katut-katut mengenal mereka, lewat cerita-cerita Ruba’i. Tapi tidak mengenal secara fisik. Ruba’i mendorong Suparto Brata untuk lebih giat membaca buku bahasa Inggris, tidak hanya pinjam, melainkan memiliki buku. Perginya orang-orang Belanda dari Indonesia tidak bisa mengangkut segala barang miliknya, jadi dilelang saja. Dari pelelangan itu Suparto Brata mendapatkan mesin ketik Remington standard, masih baik. Suparto Brata bisa mengarang dengan mengetik di rumah, mengetik tidak harus di kantor. Tahun 1957 Ruba’i pindah pondokan di gedung baru Toko Buku di Keputeran, milik Slamet Abdulsyukur. Suparto Brata sendiri lagi berumah di Rangkah 5/23B. Dinas Suparto Brata tetap jam 13.00 – 19.00. Jadi pagi hari Suparto Brata punya waktu luang banyak sekali. Dan itu Suparto Brata gunakan membaca buku dan mengetik karangan-karangan. Tidak punya pergaulan dengan teman sebaya di kota. Paling pergi ke rumah keluarga, yaitu R.M.Subagio (saudara sepupu Suparto Brata) yang bekerja sekantor dengan Suparto Brata, tapi dapat rumah dinas di Kantor Pos Perak. Sering ke sana, karena di sana berlengganan majalah Aneka, bisa Suparto Brata pinjam dibawa pulang. Atau bertamu ke R. M. Suyitno Harumbintoro, (isterinya adalah kakak R.M.Subagio) di Jl. Penataran 9. Di sana berlangganan majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat, boleh Suparto Brata pinjam dibawa pulang. Barang yang ditinggal Belanda yang membuat perubahan besar bagi Suparto Brata adalah buku. Buku-buku mereka tidak ada yang menghiraukan, maka di sepanjang kaki lima Keputeran berserakan penjual buku loak. Mula-mula Suparto Brata membeli satu dua buku, harganya murah sekali (sejilid Rp 1,50). Suparto Brata bawa pulang, Suparto Brata baca, kemudian Suparto Brata menemukan buku yang Suparto Brata terpikat untuk membacanya, yaitu buku terbitan Penguin yang sampulnya hijau, bahasa Inggris. Yaitu buku crime & mystery. Di Keputeran jumlahnya banyak. Suparto Brata beli. Suparto Brata baca. Dan di situ Suparto Brata kenal pengarang-pengarang detektif yang terkenal, seperti: Agatha Christie, Georges Simenon, Erle Stanley Garner, John Dickson Carr, dan banyak lagi. Buku semacam itu tidak Suparto Brata temukan di USIS. Dan Suparto Brata jadi keranjingan membeli buku-buku Penguin sampul hijau, membelinya dan membacanya. Seharian membaca buku di rumah, Suparto Brata senang sekali. Dengan hidup sendiri di rumah, dan punya mesin ketik, Suparto Brata mulai giat mengirimkan karangan ke penerbitan majalah di Jakarta. Juga selalu menyemak perkembangan penulisan di majalah sastera di Jakarta. Selain Siasat dan Mimbar Indonesia Suparto Brata berlengganan majalah sastera penerbitan baru, misalnya majalah cerita pendek Kisah (penerbit ini kemudian juga menerbitkan majalah Roman, Prosa, Sastera), Zenith, Buku Kita, Indonesia. Juga majalah Budaya yang diterbitkan di Jogya. Majalah-majalah itu dikelola oleh sasterawan Indonesia terkenal saat itu, misalnya H.B.Yasin. Idrus, dll. Hidup seorang diri dan mendapatkan gaji tetap sebagai operator teleprinter, Suparto Brata bisa hidup hemat, sederhana, dan bebas berbuat apa saja, cukup untuk berlengganan banyak majalah sastera. Suparto Brata pernah cuti pergi ke Bandung (kakak sudah menikah dengan saudara sepupu sendiri), tetapi pulang belum waktunya karena kecewa, singgah di Solo, ke Jl. Imam Bonjol 38 (ketika itu rumah ditempati oleh keluarga Pus, orangtua Kenthut, yang kemudian menjadi pengarang drama bahasa Jawa populer, Teater Gapit), di sana bertemu Ninuk, gadis yang mondok. Kami berdua bicara banyak, katanya rumah Imam Bonjol berlengganan majalah Panjebar Semangat, dan Ninuk suka sekali menyemaknya. Pulang ke Surabaya, Suparto Brata tulis cerita pendek bahasa Jawa (yang pertama kalinya) Suparto Brata kirimkan ke Panjebar Semangat dengan nama pengarang Parto Printer, menyeritakan pertemuan Suparto Brata yang terhibur oleh Ninuk ketika pulang cuti sakit hati dari rumah kakak di Bandung. Dimuat Panjebar Semangat 5 April 1958. Menjadi pembicaraan keluarga dan guru sekolah Ninuk, karena Suparto Brata menyebutkan nama Ninuk dan sekolahnya terang-terangan. Nama Suparto Brata di kalangan keluarga jadi terkenal sebagai pengarang bahasa Jawa. Keleluasaan waktu Suparto Brata di rumah dengan mesin ketik menggairahkan Suparto Brata membuat novel. Jadilah Tak Ada Nasi Lain. Pada tahun itu (1958) Panjebar Semangat mengadakan sayembara penulisan cerita sambung. Nyonya Suyitno tempat Suparto Brata selalu pinjam majalah Panjebar Semangat mendorong Suparto Brata agar ikut lomba tadi. Suparto Brata pun mengarang dalam bahasa Jawa untuk lomba tadi, judulnya Kaum Republik. Suparto Brata ketik di kertas tipis (doorslag) dan Suparto Brata beri karbon. Selesai 36 halaman ketik folio, jarak 1-1/2 spasi. Ternyata menang nomer 1, mengalahkan pengarang favorit terkenal waktu itu, Any Asmara. Maka sejak itu hubungan Suparto Brata dengan redaktur Panjebar Semangat jadi akrap. Panjebar Semangat diterbitkan dan dicetak di gedung Pers Nasional Jl. Penghela 2, di gedung itu selain ada mesin cetak Intertype juga jadi pusat penerbitan pers di Surabaya, seperti Harian Umum, Suara Rakjat, Terang Bulan, Djojo Bojo, Indah (redaktur Basuki Rachmat), Gerak Masjarakat, dll. Segera saja Suparto Brata kenal dengan para wartawan di situ, banyak di antara mereka seniman yang mempengaruhi benar kehidupanku selanjutnya, misalnya: Basuki Rachmat, Farid Dimyati, Purnawan Tjondronegoro, Tjoek Amiwarso, Soebekti, Hari Reksoatmodjo, Amak Syarifudin. Juga redaksi yang lebih tua, misalnya: Tadjib Ermadi (pemimpin redaksi/pendiri Djajo Bojo), Imam Supardi, Satim Kadarjono, Soedjono, Singgih, Moechtar, M. Radjien. (Yang Suparto Brata ketik tebal berpengaruh sampai hari tuaku). Setelah kenal mereka, Suparto Brata punya masyarakat baru di kota, bergaul dengan mereka, bertemu dalam diskusi di Balai Pumuda, di pementasan sandiwara, dan lain-lain. Kebanyakan mereka menghormati Suparto Brata karena Suparto Brata telah punya nama di majalah sastera di Jakarta (karangan Suparto Brata sering dimuat di majalah Jakarta). Pada sekitar tahun 1958 itu di majalah Siasat Mh. Rustandi Kartakusuma (sepulang dari belajar di Negeri Belanda dan Prancis) sedang gencar mengeritik para pengarang Indonesia, karangan-karangan mereka kits. Sewaktu Rustandi berkunjung ke sanggar pelukis di Balai Pemuda, Suparto Brata mempertunjukkan naskah novel Suparto Brata Tak Ada Nasi Lain. Dibaca di rumah saudaranya di Jl. Residen Sudirman. Keesokan harinya dia datang ke rumah Suparto Brata di Rangkah, memuji-muji novel Suparto Brata. Dia minta izin akan membacanya lagi. Karena Suparto Brata mengetiknya dengan rangkapan kertas karbon, maka yang dipinjam yang tindasan kertas karbon. (Selanjutnya dia sangat sering berkunjung ke rumah Suparto Brata, dan bicara soal sastera berjam-jam. Pergaulan kedekatan kami berlangsung sampai tahun 1975-an, ketika Suparto Brata sudah jadi pegawai Pemerintah Kota Surabaya. Suparto Brata diikut-sertakan penataran penulisan cerita kanak-kanak di Cipayung Jakarta, suatu proyek Departemen Pendidikan, yang jadi proyek officernya Mh. Rustandi Kartakusuma. Tahun 2005, Suparto Brata dan beliau bersama mendapat Hadiah Rancagé, tetapi ketika penerimaan hadiah di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 5 Juli 2005, beliau tidak hadir karena sakit). Tahun 1960 Suparto Brata pindah pekerjaan ke PDN Djaya Bhakti. PDN singkatan dari Perusahaan Dagang Negara. PDN adalah gabungan perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi. Ada beberapa PDN, antara lain Pantja Bhakti, Sejati Bhakti, Dharma Bhakti, Djaya Bhakti. Masing-masing meneruskan kegiatan perdagangan yang semula kegiatan perusahaan dagang Belanda. Rata-rata pegawainya (namanya disebut karyawan) sangat makmur dibandingkan dengan perusahaan negara lainnya. Suparto Brata jauh lebih makmur daripada ketika bekerja di Kantor Telegrap dahulu. Waktu kerja Suparto Brata jadi sibuk di kantor, karena jam kerjanya: 08.00-12.00, istirahat, 13.00-16.00. Bergaul dengan teman wartawan dan seniman sangat sempit, namun meminjam buku di USIS dan mengarang di rumah masih sempat. Tahun itu M.Radjien mengundurkan diri dari pemimpin redaksi majalah bahasa Jawa Djojo Bojo karena mau mendirikan perusahaan penerbitan sendiri C.V. Warga. Dia mengajukan Suparto Brata sebagai penggantinya. Pak Tajib Ermadi menyetujui. Tetapi waktu itu kemakmuran Suparto Brata berlimpah sebagai karyawan PDN Djaya Bhakti, maka Suparto Brata tolak. Suparto Brata anjurkan Basuki Rachmat saja. Dan Basuki Rachmat pun jadi pemimpin redaksi majalah Djojo Bojo. Meski kemakmuran berlimpah, sibuk bekerja di kantor, hidup seorang diri di rumah, namun membaca buku pinjaman dan mengetik karangan di rumah tidak berhenti. Pergaulan di luar rumah memang sangat terbatas. Kedekatan Suparto Brata dengan para pekerja di Pers Nasional Jl. Penghela 2 dan Gedung Percetakan Brantas Jl. Alun-alun 31 (redaktur, wartawan, penulis penerbitan pers, seniman) sangat melancarkan karangan-karangan Suparto Brata dimuat oleh media cetak. (Harian Umum, Indah, Gerak Masyarakat, Tanahair (dulu Terang Bulan), Gelora, Surabaya Post, Trompet Masyarakat). Karena gemar menikmati (membaca) cerita buku yang panjang-panjang, keinginan membuat cerita panjang pun berkecamuk di pikiran. Mengarang cerita panjang (novel) bahasa Indonesia pun pernah, yaitu Tak Ada Nasi Lain. Menulis bersambung bahasa Indonesia pun pernah dimuat di majalah Aneka Jakarta, yaitu Kaum Republik cerita sambung yang menang pada sayembara Panjebar Semangat, Suparto Brata gubah menjadi cerita drama (play) di majalah Aneka. Karena mengarang cerita panjang yang segera bisa diterbitkan yang Suparto Brata lihat hanya pada majalah bahasa Jawa, maka Suparto Bratapun menulis cerita panjang bahasa Jawa, Suparto Brata kirimkan kepada Panjebar Semangat. Dan diterima, dimuat, dan mendapat sambutan hangat. (antara lain Suparto Brata pantau dari para keluargaku yang berlangganan Panjebar Semangat). Karena memang sudah terlalu banyak ide untuk menulis cerita panjang, maka karangan Suparto Brata bahasa Jawa pun membanjiri Panjebar Semangat. Di situ Suparto Brata membuat cerita bahasa Jawa yang temanya maupun gayanya banyak mencontoh dari bacaan Suparto Brata bahasa Inggris. Menulis cerita sambung dengan gaya begitu menjadi kegemaran Suparto Brata hingga hari tua Suparto Brata. Pada awal-awal kegiatan Suparto Brata menulis cerita sambung (novel) bahasa Jawa itu telah Suparto Brata tulis antara lain menyadur karangan Mignon G. Eberhart While The Patient Slept menjadi Pethite Nyai Blorong (1962), ketika itu masih mabuk dengan membacai buku detektif buku terbitan Penguin sampul hijau). Karangan Friedrich Duerrenmatt Die Besuch der Alten Dame yang sumbernya dari bacaan The Best Ten Plays 19…, buku pinjam dari USIS, Suparto Brata sadur jadi Sanja Sangu Trebela (1964). Selain menyadur dari karya yang sumbernya dari bahasa Inggris yang Suparto Brata nikmati-baca, Suparto Brata juga menulis cerita detektif meniru gaya buku Penguin sampul hijau, yaitu menciptakan cerita detektif seri dengan tokohnya Detektif Handaka. Hal itu pada sastera Jawa dianggap gagrag (genre) baru, dan digemari pembacanya. Banyak pembaca, kemudian juga pengarang sastra Jawa yang terkagum-kagum. (httpwww.supartobrata.comwp-contentdownloadProses%20kreatif.pdf) B. Deskripsi Struktur Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suaparto Brata Analisis struktur novel merupakan metode dasar yang menjadi dasar berpikir, menjadi bahan pijakan dalam menganalisis suatu karya. Analisis ini menjadi preoritas utama sebelum dilakukan analisis yang lain, hal ini untuk mendapatkan kebulatan makna yang dicermati lewat unsur-unsur pembangun karya sastra. Demi kepentingan dalam penelitian ini, pembahasan unsur pembangun yang diutamakan dalam analisis ini antara lain: penokohan, alur, setting, tema dan gaya bahasa. Hasil analisis unsur itu adalah sebagai berikut: 1. Tema Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Tema dalam Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata menceritakan pergaulan dan keadaan umum masyarakat desa Jawa saat itu. Novel yang akhirnya menghukum yang jahat dan mengangkat derajat yang benar. Intinya tema dalam novel ini, seseorang yang suka berjuang, bekerja keraslah, ringan tangan terhadap sesama, hapus kata dendam dalam hati, belajar terus menuju tiap tingkatan kepintaran baru dalam hidup dan tidak lupa memperluas jejaring kebaikan. 2. Penokohan Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Novel Mahligai di Ufuk Timur ini menampilkan beberapa tokoh yaitu tokoh utama Teyi (Den Rara Teyi). Tokoh Teyi mempunyai kadar keutamaan yang lebih besar karena tokoh Teyi adalah pusat dari cerita. Selain itu ada beberapa tokoh bawahan yang keberadaannya sebagai pendukung tokoh utama, yaitu: Raminem, Manguntaruh, Kus Bandarkum, Dasiyun dan Dumilah. a) Tokoh dan Wataknya (1) Tokoh Utama Den Rara Teyi Den Rara Teyi adalah anak yang kedua dari empat belas bersaudara, pasangan dari Raminem seorang ibu yang masih muda dan punya semangat, dengan Suratman Wongsodirjo seorang laki-laki serdadu yang tidak kenal lelah, sosok ayah yang giat bekerja, terampil menjalankan tugas, serta tidak kenal lelah dalam menjalani kehidupannya. Wongsodirjo adalah laki-laki yang giat bekerja, trampil menjalankan tugas, serta tak mengenal lelah menjalankan kewajiban hidupnya. Sebagai serdadu ia tidak pernah mangkir, tidak pernah menjalankan dinas, tidak pernah sakit. Ia menjalankan tugas dengan sepenuh hati. Pulang dari berdinas ia tinggal kelelahan. Yang dibutuhkan hanya istirahat, tidur. Apalagi kalau habis berpatroli berminggu-minggu. Dan di rumah ia punya isteri, Raminem. Isterinya muda dan bersemangat. Bersemangat dalam segalanya, termasuk menemani tidur. … Lahirlah anak-anak mereka. Empat belas kali kelahiran, termasuk yang lahir sebelum waktunya. Namun yang bertahan hidup hanya nomor dua dan delapan, Teyi dan Tumpi. (Suparto Brata, 2007:56). Teyi juga perempuan yang baik hati dan sopan, ia juga suka memberi kepada sesamanya, apalagi kepada teman-temannya dulu waktu di Tangsi yang kebetulan kehidupannya kurang beruntung. Perhatikan kutipan berikut ini: Teyi mengambil kantong uang. Ditariknya uang lima puluh sen enam lembar, diberikan kepada keminik. Tidak, Keminik ditahannya, tidak boleh membayarkan uang itu kepada sais andong. “Jangan! Biar aku sendiri nanti yang bicara sama sais.” “Lo, uangnya ini?” “Peganglah, untukmu! Kuucapkan terima kasih karena kamu telah memberiku kesempatan untuk berdandan. Satu lagi, Keminik. Itu, kebaya kuning dari sang pangeran, biarlah kutinggalkan di sini untukmu. Pas dengan tubuhmu , kan?” (Suparto Brata, 2007:109).   (2) Tokoh Mas Kus Bandarkum Mas Kus Bandarkum adalah tokoh laki-laki yang juga sebagai kekasih dari Den Rara Teyi. Ia juga seorang bangsawan putera mahkota kerajaan Jayaningratan yang ada di Solo. Ucapan Kus Bandarkum adalah ucapan Bangsawan, laki-laki, bahadur, putra tercinta, cucu termanja seorang pangeran Jawa zaman baheula. Ucapannya mutlak. Tohok raja tidak dapat dielakkan. Titah lalu sembah berlaku. Tak peduli diizinkan atau tidak, kehendaknya harus tetap dilaksanakan. (Suparto Brata, 2007:132). Tapi ya memang seperti itulah laki-laki, kalau sudah melihat perempuan, apalagi kekasihnya sendiri pastinya mereka akan lupa diri. Hingga pada satu saat sifat kejantanan seorang Kus Bandarkum kumat ketika melihat sang kekasih. Birahi itu muncul, dimana ia ingin sekali menikmati tubuh kekasihnya. Berikut kutipannya. Kus Bandarkum itu laki-laki! Tak ada bedanya dengan Dasiyun, Lik Manguntaruh, Kang Urip, Kapten Sarjubehi! Laki-laki rakus yang ingin merebut milik perempuan manakala sempat, manakala perempuannya rapuh, lalai. Maka Teyi menolak, menampik, menghindar. Tangannya mendorong dan wajahnya melengos, menghindar jauh-jauh. Tapi, dasar laki-laki, begitu ditolak, ia malah bergairah dan mengerahkan kekuatannya. (Suparto Brata, 2007:138). Tapi Kus Bandarkum juga termasuk laki-laki yang setia. Selama bertahun-tahun ia hidup menyendiri tanpa mencari pendamping hidup, karena kesetiaannya menunggu janji sang kekasih yang akan menemuinya di keraton. Karena kesetiaannya itu sehingga ia berusaha menunjukkan kesuciaannya selama ini dengan berusaha bercumbu dengan Teyi. Tapi, pada akhirnya ia sadar kalau apa yang diperbuatnya itu salah. Perhatikan kutipan berikut. “Sudah, Teyi, Diajeng, jangan bicara soal itu lagi. Kita bertemu untuk beragak-agak mengobati rindu, bukan? Bukan untuk berdebat? Aku tadi hanya bermaksud memamerkan bahwa diriku masih suci selama menanti kedatanganmu. … Kamu harus tahu itu, Diajeng! Kamu, dan hanya kamu seorang, yang harus tahu bahwa aku masih suci. Mestinya tidak perlu tergesa aku pamerkan kepadamu.” (Suparto Brata, 2007:150–151). Kus Bandarkum ternyata masih menyimpan jiwa kemanusiaanya. Ia juga suka menolong orang yang lemah. Itu terbukti bahwa ia sudah menolong seorang perempuan yang montang-manting kehidupannya. Berikut kutipannya. “Hiiih-hiiih! Ya, itulah putri Teyi. Itulah lelakon hamba yang malang ini! Dasuki tidak diakui. Untung ada Gusti Mas Kus. Beliau yang melindungi hamba. Hanya berkenan beliau hamba bisa di sini. Diberi pekerjaan membersihkan ‘papiliun’ ini. Tapi hanya malam hari boleh tidur di sini, di kamar ini. Siang hari, hamba tidak boleh merambah di sini. Hamba dan Dasuki harus jauh dari sini. Harus pergi.” (Suparto Brata, 2007:173). (3) Tokoh Raminem Raminem adalah ibunya Teyi, walaupun terbilang perempuan yang dianggap lemah oleh keluarga suaminya tapi Raminem berusaha menunjukkan kepada keluarga suaminya kalau ia bisa hidup dengan memberanikan diri keluar dari rumah untuk bisa hidup mandiri. “Aku dulu pengantin baru juga bertempat tinggal di sini. Hidup sama Kang Wongso dan Yu Camik. Tapi aku tidak kerasan karena dihina-hina melulu oleh Yu Camik,” pernah pada suatu kunjungan ke rumah itu Raminem berkisah kepada Teyi. Teyi mencoba membayangkan bagaimana simboknya yang masih muda belia hidup serumah dengan Mbokde Camik yang galak itu. Tentu bagaikan anjing dengan kucing. Raminem kucingnya. (Suparto Brata, 2007:59). Selanjutnya, seppanjang perjalanan pulang, Den Nganten Raminem bercerita kepada Kartaijaya tentang hari-hari pertama ia sebagai pengantin baru diboyong dari Ngombol ke Bagelen. Kisah yang amat menyakitkan hatinya. … itulah sebabnya Raminem mengajak suaminya keluar dari rumah itu, mendaftar jadi serdadu kompeni, bertekad menjadi kekayaan sendiri, tidak mengandalkan warisan. … (Suparto Brata, 2007:35). Raminem juga berani menunjukkan kalau perempuan tidak lemah dan kalah dengan laki-laki. Walaupun Raminem bisa luluh dengan suaminya kalau di ranjang tapi kalau urusan pekerjaan Raminem berani menegur suaminya karena sukanya bermalas-malasan bahkan tidak tahu bagaimana mengurusi sawah. Itu bisa dibuktikan pada kutipan berikut. Den Nganten Raminem berdebat dengan suaminya. Biasa! Suaranya sama kerasnya. Terutama setelah peristiwa kena tampar itu. Pekerti den Nganten Raminem kentara sangat berubah. Sindiran, bahkan ucapan tajam, langsung tertuju kepada suaminya, sering dilontarkan sengaja agar didengar orang banyak. Sikap menantang itu dikoarkan tanpa ditutup-tutupi. Namun mereka biasanya segera rukun apabila sama-sama masuk kamar tidur. (Suparto Brata, 2007:279). “Mau mengatur apa? Semuanya sudah teratur begini, kok. Orang sini semua tahu, kamu ini ke sawah tidak berluluk, ke lading tidak berarang! Mau mengatur apa? Kalau Tambur tidak terbunuh, sebenarnya tidak ada personalan apa-apa dengan ditinggalkannya rumah ini oleh Teyi. Saking saja Dik Mangun ini yang cari perkara! Nanti kalau Teyi pulang tentu marah! Baru saja ditinggal sehari, keadaan rumah sudah runyam!” (Suparto Brata, 2007:292).   (4) Tokoh Manguntaruh Manguntaruh adalah bapak tirinya Teyi, ia bisa dikatakan laki-laki yang pemalas, dan bisanya hanya berharap warisan dari orang tuanya yang selama ini dikuasai Mbakyunya. Laki-laki yang cuek dengan apapun, maunya kaya tapi tanpa kerja. Dari awal sampai akhir cerita Manguntaruh diceritakan dengan gambaran pemalas, yang hanya berharap kekayaan dari orang lain. Manguntaruh menyanggupi dengan senang hati. Meski Yu Camik bermulut kotor, suka nyapnyap kepada Manguntaruh, tapi perempuan nyinyir itu mbakyu kandungnya. Manguntaruh sudah kenal betul tabiat kakak perempuannya itu. Kata-kata kotornya itu akan luluh dengan sendirinya, karena Manguntaruh tidak pernah ambil pusing dan terus saja berpekak telinga dan berkulit badak. Tetap saja ia bergaul erat dengan Yu Camik, dan merengeki harta kekayaannya, layaknya seorang adik bocah minta makanan kepada mbakyunya yang juga masih bocah. (Suparto Brata, 2007:39). Manguntaruh juga dikenal kejam, bahkan Manguntaruh juga diketahui telah membunuh bapak kandungnya Teyi yaitu Suratman Wongsodirjo hanya demi mendapatkan Raminem. Karena Manguntaruh tahu kalau hidup dengan Raminem bakal enak dan tidak perlu kerja lagi kehidupannya bakal nyaman dan tercukupi. “Anu, Plik. Tanah lembab kandungan air, kayu bengkok titian kera. Kejahatan tidak terjadi kalau tidak disebabkan keadaan lain. Mengapa Lik Manguntaruh membunuh Lik Wongso dan Lik Sura?” “Karena Lik Manguntaruh gandrung sama Lik Raminem.” “Ah! Masa karena itu?” “Kamu lihat sendiri hasil kejahatannya. Ia menikahi Lik Raminem. Sekarang ia hidup enak, makan bersabitkan, seperti ratu anai-anai saja.” (Suparto Brata, 2007:349). (5) Tokoh Dasiyun Dasiyun adalah putra dari Manguntaruh tapi bukan dengan Raminem. Dasiyun memang tergolong laki-laki yang kurang beruntung hidupnya. Bahkan bisa dikatakan kehidupan Dasiyun tergantung oleh orang lain atau oleh Teyi saudara tirinya. Selesai makan malam Den Rara Teyi mengajak Kartatempe ke rumah Dasiyun. Mendengar itu, Manguntaruh ikut juga. Ia malu. Sebenarnya, Manguntaruhlah yang seharusnya berprakarsa menemui Dasiyun, karena Dasiyun adalah anaknya. Dan Denta serta Camik, sebagai kerabat, lebih dekat dengan ia daripada dengan Teyi. (Suparto Brata, 2007:25). “Keadaan Dasiyun juga sangat jelek, jadi kain basahan. Justru Teyi yang dulu seringkali membawakan beras dari sini. Ya, kapan-kapan nanti kuantar kamu ke sruwoh.” (Suparto Brata, 2007:324). Walaupun Dasiyun sudah berusaha dengan seluruh kemampuannya untuk menghidupi keluarganya tapi itu belum bisa mencukupi keluarganya. Bahkan Dasiyun juga dibela-belain kerja sebagai tentara Dai Nippon tetap juga tidak bisa menghidupu keluarganya. “Kamu? Dumilah? Kok kurus sekali? Keadaanku, kamu melihat sendiri. Ini memang baju seragam kerjaku. Kepala gundul karena tugas ikut Nippon. Rumahku seperti gudang kerampokan, barangnya kosong. Itu, Siti Zubaidah, istriku, kuambil dari Betawi. Kurusnya menandingi kamu. Tapi kamu kurus betul, ya? Di mana kamu selama ini? Anak ini anakmu?” (Suparto Brata, 2007:327). (6) Tokoh Dumilah Dumilah adalah sahabat Teyi waktu di Tangsi Lorong Belawan dulu. Dumilah adalah tokoh perempuan yang semangat untuk hidup demi mancapai masa depannya yang lebih bahagia. Kemanapun akan ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaannya. Hingga dia minta bantuan kepada Teyi untuk menuju tempat yang ia dambakan. “Sebut saja dari mana tuan putri berangkat kesini? Dimanakah tuan putri tinggal selama ini? Hamba akan kesana. Disitulah hamba akan mencoba kehidupan yang lain. Sebutlah. Heh, apa itu?” “Teyi tak sempat mencegah. Belum memahami sikap dan tingkah laku Dumilah, sahabatnya itu sudah lenyap dari hadapannya. (Suparto Brata, 2007:178). Bermodal semangat untuk bisa hidup bahagia Dumilah pun siap bekerja apapun walaupun di Desa. Dumilah yakin apa yang diamanatkan Teyi pada dirinya akan bermanfaat untuk kehidupannya. “Iya Lik, saya mau bekerja biarpun dengan umpan seumpan, kail sebentuk. Berilah saya kesempatan. Saya tak peduli Lik Manguntaruh membenci aku, asal Lik Sersan memperbolehkan saya tinggal di sini. Tuah ayam boleh dilihat, tuah manusia siapa tahu, iya, kan? Putri Teyi sudah mengamanatkan begitu. (Suparto Brata, 2007:323). b) Penokohan Penokohan adalah cara atau teknik penampilkan tokoh. Secara umum ada dua macam yaitu analitik atau teknik langsung, dan dramatik atau tidak langsung. Teknik analitik pencerita memaparkan keadaan tokoh secara langsung atau tersurat sehingga pembaca tidak perlu lagi menafsirkan watak tokoh cerita. Sedangkan teknik dramatik dipaparkan melalui cakapan, melalui kutipan, melalui pendapat tokoh lain, melalui reaksi tokoh, dan melalui penulisan lingkungan. Dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata, cara yang digunakan untuk menampilkan tokoh adalah teknik campuran yaitu penggabungan penggambaran tokoh secara bergantian. Kadang dimunculkan penggambaran tokoh dengan teknik analitik, kadang pula dimunculkan penggambaran tokoh secara teknik dramatik. Hal ini menyebabkan novel ini lebih mudah untuk dicerna oleh pembaca. c) Tehnik Penokohan Teknik penokohan yang digunakan dalam novel Mahligai di Ufuk Timur adalah teknik dramatik artinya pelukisan watak tokoh seperti dalam drama, dilakukan secara tak langsung. Watak tokoh ditampilkan melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal/kata-kata maupun lewat tindakan. Berhubung sifat tokoh tidak dideskripsikan secara jelas dan tidak sekaligus, maka baru mengetahui watak tokoh jika sudah selesai membaca. 3. Alur/Plot Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Alur/plot yang mengiringi kisah Den Rara Teyi menggunakan alur campuran, alur maju (progresif) dan alur mundur (regresif) yaitu beberapa bagian peristiwa yang berupa kilasan-kilasan saat Teyi mengenang masa lalunya. Tahap situasi awal dimulai dari sawah Teyi yaitu di daerah Kedu Selatan dan Ngombol dimana teyi dan beberapa anak buahnya, yaitu: Kartatempe, Kartadinama, Somaireng, Sutarawit, Pawit, Gombak bekerja menggarap sawahnya. Peristiwa berikutnya kita di ajak ke rumah Teyi yang kebetulan lagi sibuk untuk mencatat hasil setoran panen dari anak buahnya, disaat itu pula ada kejadian yang membuat keluarga Teyi jadi ramai dan gaduh karena kedatangan tamu yang tiba-tiba marah tanpa tahu sebabnya. Belum sempat Teyi menyambut tamunya, Wongsodrono telah sampai di dekatnya, membentak-bentak dengan suara parau, “Kamu sudah edan, ya! Sudah edan! Mana Denta?! Mana anakku? Kranjingan kamu semua, ya! Mana Denta? Edan!” Umbar caci maki itu disusul oleh Camik. Ia berkata seru sambil menuding-nuding Teyi, yang diganti namanya dengan Bayi, “Mana Deksiya?! Ayo, katakana, mana anak setan itu?! Kalian sudah bersekongkol! Terkutuk, kamu semua! Deksiya dan kamu bayi!” (Suparto Brata, 2007:5). Orang-orang jadi berhenti bekerja. Semuanya terperanjat. Tanpa angin tanpa mendung, tiba-tiba petir geledek sambung menyambung di siang hari saat matahari bersinar cemerlang. Kejadian itu membuat Teyi tergagap bingung harus bagaimana. Tamu yang datang tiba-tiba marah yang tidak tahu asal-usul masalahnya, walaupun Wongsodrono dan Camik sudah mengutarakan maksud kedatangannya adalah untuk mencari anaknya. Tapi, karena Teyi tidak tahu menahu tentang anak yang ditanyakan jadinya Teyi pun bingung bukan kepalang. Peristiwa berikutnya kita diajak ke rumah Wongsodrono dan Camik yang ada di Bagelan. Dimana Teyi berangkat bersama Raminem ibunya dan Lik Manguntaruh dengan naik dokar, tidak lupa si Tambur (anjing setia Teyi) yang berlari mengikuti dokar. Mereka bertiga berangkat bersama menuju Bagelan yaitu ke rumahnya Wongsodrono dan Camik. Gerimis siang belum reda, dokar Kartaijaya keluar dari Desa Ngombol dengan ditutup kain mota rapat-rapat. Selain sais, penumpangnya tiga orang, ditambah beras setengah karung. Teyi berwajah cemberut. Sebal, kendaraan begitu sempit terkurung rapat sampai pandangan tak leluasa, penumpang di depannya duduk rapat berpegangan. …. Tambur berlari-lari mengikuti dokar seperti kalau diajak mengembara mencari beras. Sayang, teyi tidak bisa memeluk-meluk Tambur di dokar yang sempit itu. (Suparto Brata, 2007:59). Hingga pada akhirnya penggambaran rencana rumah tangga ke depan, ketika Teyi dan Kus Bandarkum berbincang di rumah khusus yang berada di samping keraton. Raden Mas Kus Bandarkum bercerita panjang lebar tentang kekayaannya, sehingga Teyi mempunyai rencana besar dalam berumah tangga dengan mas Kus Bandarkum kekasihnya. Teyi dengan hati-hati mengutarakan rencananya untuk mengurus kekayaan Mas Kus Bandarkum saat sudah berumah tangga kelak. Raden Mas Kus Bandarkum sangat terkejut dengan rencana besar Teyi, karena dibenaknya belum pernah terpikirkan rencana sebesar itu. Hal ini bisa dilihat pada kutipan berikut: “Kalau begitu, sementara menunggu usainya perang suci ini, kita harus mendirikan kelompok belajar membaca dan menulis buku cerita. Kita punya pekerjaan.” “Bagus, asal ada sama di hati, gajah terantai boleh dilepaskan. Apakah kamu sudah punya bayangan apa yang bakal kamu lakukan nanti?” “perkumpulan perempuan pembatik kita ganti dengan kelompok belajar-mengajar membaca buku. Pembacaan seperti Nyai Jantirum kita hidupkan lagi, tapi tidak hanya mendengarkan bacaan, melainkan juga belajar membaca dan menulis, seperti yang hamba lakukan bersama Puteri Parasi. Kita carikan orang yang pandai membaca seperti Nyai Jantirum, seperti Puteri Parasi. Yang diajarkan sebaiknya huruf latin saja, sehingga hamba pun bisa ikut mengajar.” (Suparto Brata: 2007:271). Akhirnya Cita-cita seorang Teyi yang telah berhasil menjadi Den Rara Teyi dan bersama ibunya dengan kerja keras berhasil membangun dengan kokohnya kerajaan Raminem (kerajaan pertanian). Selain itu Den Rara Teyi juga bertujuan untuk mencari jodohnya, menemukan cintanya, melanjutkan pemikiran besarnya serta menepati janjinya bertemu Ndara Mas Kus Bandarkum di Istana Jayaningrat Surakarta. Kisah percintaan dalam hingar bingar rindu suasana pertemuan dan diskusi panjang mengungkap tuntas kebudayaan bangsa Jawa secara gamblang. Cerita ini berlatar tahun 1940-an ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. Budaya unggah-ungguh Keraton Surakarta yang begitu adiluhung pun mulai tersapu, oleh karena itu persatuan kedua insan ini dinyatakan sebagai perkawinan di awal jaman laksana terbitnya matahari di ufuk timur. Budaya Jawa yang harus diselamatkan kelestariannya dengan munculnya jaman modern, sehingga mau tidak mau harus segera bertindak memberikan pendidikan baca tulis pada generasi itu sebanyak-banyaknya demi lestarinya budaya adiluhung bangsa Jawa dan mempersiapkan diri menjadi bangsa Indonesia yang merdeka. 4. Latar/Setting Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Latar/setting cerita adalah keterangan yang melukiskan situasi, keadaan yang berhubungan dengan tempat, waktu dan suasana/keadaan sosial saat terjadinya peristiwa. Dijelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur latar/setting yang terdapat dalam novel Mahligai di Ufuk Timur yaitu:   (1) Latar/Setting Tempat Secara garis besar latar/setting dalam novel Mahligai di Ufuk Timur ini, tempat yang digunakan sebagai latar cerita ini adalah di Desa Ngombol, Desa Bagelen, dan Kota Solo. Namun secara lebih detail penulis dapat menjelaskan latar/setting yang digunakan dalam novel Mahligai di Ufuk Timur sebagai berikut: - Rumah Teyi di Desa Ngombol Hari itu Den Rara Teyi menerima hasil panen sawah Pojok Desa. Petang hari rumah Den Rara Teyi jadi ramai. Para perempuan buruh potong padi bererot mendukung hasilnya masing-masing dari Pojok Desa ke rumah Den Rara Teyi. Sampai di sana mereka bergiliran menimbang hasilnya dan menerima upahnya. (Suparto Brata, 2007:4) - Rumah Wongsodrono di Desa Bagelen Keadaan rumah di Bagelen tidak berubah. Rumah besar yang bagus itu tampak sunyi. Prawirasunu dan keluarganya tetap menempati rumahnya sendiri. Begitu pula Biyang Sebloh, tinggal di rumahnya yang reyot. Mereka sedang berada di rumah masing-masing ketika dokar dari Ngombol datang. Gerimis yang berkepanjangan membuat mereka enggan keluar rumah. Kedatangan Teyi dan Raminem disambut beramai-ramai, suara ceria dan sendu bercampur-baur. Teyi memilih ke rumah besar, dan para keluarga rasanya tidak keberatan tamu-tamu itu meninjau rumah besar yang dulu angker itu. Rumah besar yang dulu ditempati Pakde Wongsodrono beserta keluarganya. (Suparto Brata, 2007:59). - Rumah Dasiyun Meski didahului dengan bicara santai, Dasiyun tahu bahwa kunjungan malam itupunya arti penting. Mendengar gebrakan ayahnya tadi, Dasiyu juga telah tahu bahwa mereka akan membicarakan Denta. (Suparto Brata, 2007:26). - Stasiun kereta api Wates Teyi berhasil mendapatkan tempat duduk ketika di Stasiun Wates itu. Ini kereta api jarak pendek, Kutoarjo-Solo Balapan. Dan selanjutnya Teyi tidak berkutik lagi sampai di stasiun tujuan, Solo balapan. (Suparto Brata, 2007:83). - Rumah Keminik Teyi segera sadar dimana ia berada. Ia sadar bagaimana penghuni rumah itu, Keminik, temannya waktu kecil, menghidupi dirinya. Penghuni rumah itu bebas menerima tamu. Sekat-sekat rumah itu bagaikan milik pribadi penghuninya. Misalnya Keminik, ia bisa menerima tamu dan bebas berbuat apa saja asal seijin Keminik. (Suparto Brata, 2007:88). - Kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat Dan itulah sebabnya Teyi kini datang ke kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat, khususnya ke Istana Jayaningratan. Tapi sampai di tempat tujuan, pintu gerbangnya tertutup rapat. Dan orang-orang yang santai di situ adalah orang-orang miskin. Masa jaya kemegahan pintu gerbang dengan kehidupan di istana yang disembunyikannya di dalamnya sudah berlalu. (Suparto Brata, 2007:115). - Di dalam istana Jayaningratan Kus Bandarkum menggandeng Teyi menyebrangi ruang tengah istana menuju ruangan samping sebelah kiri atau timur. Mereka masih harus menyebrangi halaman lagi dan baru sampai sebuah rumah tersendiri. Jelas bahwa rumah itu adalah bangunan baru, artinya bukan bagian bangunan yang dirancang ketika istana dibangun. Rumah tembok itu punya pintu dan jendela seperti bangunan loji, rumah gedung Belanda. (Suparto Brata, 2007:135). - Di Paviliun Kus Bandarkum “Orang sini menyebut bangunan baru ini paviliun. Paviliun ini, seperti kamu lihat, terpisah dari istana sana, seluruhnya aku sendiri yang menempati. Juga aku dulu yang berprakarsa membangunnya. Ini pun bagi dari usahaku untuk menjalani hidup terpisah dari kehidupan leluhur yang harinya telah senja,” Ndara Mas Kus Bandarkum antara lain menjelaskan. (Suparto Brata, 2007:156). (2) Latar/Setting Waktu - Musim panen Musim panen. Tahun ini panen padi sawah di daerah Kedu Selatan, juga di Ngombol, kurang berhasil. Sawah Den Rara Teyi juga. Sawah prapatan yang digarap sendiri hasilnya tidak seberapa bernas. Sawah Siluwangan yang digarap Kartatempe juga demikian. Ini semua gara-gara musim yang disebut panen gadhu, yaitu bukan musim kemarau kering-kerontang. (Suparto Brata, 2007:3). - Sore hari Seluruh pekerjaan selesai ketika matahari mulai tenggelam. Hasil akhir tumpukan padi, setelah dikurangi seperempat untuk pemerintah, dibagi dua sama besar. Yang membagi Gombak, adil. Bagian Den Rara Teyi dimasukkan ke pendapa oleh Kartatempe, bagian Gombak diusungi sendiri ke rumah bujangan itu. (Suparto Brata, 2007:24). Jenazah Denta selesai dikuburkan lepas tengah hari, tapi Teyi dan Raminem tidak bisa segera pulang. Mereka sibuk di dapur membantu para perempuan tetangga memasak untuk selamatan. Mereka baru pulang sore hari, setelah pekerjaan selesai. Kartaijaya dengan dokarnya juga tetap menunggu sampai penumpangnya mengajak pulang. (Suparto Brata, 2007:35). Matahari sore masih bertengger di atas puncak pendapa istana joglo, sinarnya menerangi ruang depan yang dibangun dengan banyak jendela berkaca itu. Dari tempat duduk-duduk itu, mereka bisa menatap bangunan pendapa istana, pelataran pasir putih yang luas, pohon sawo kecik yang telah tua dan tidak rindang lagi daunnya, serta pintu gerbang tertutup tempat orang atau kendaraan masuk-keluar istana. Tanah di sekitar masih basah karena hujan semalam dan tadi pagi, membuat tumbuhan taman di depan paviliun tampak segar. (Suparto Brata, 2007:184). - Musim kemarau Meski musim kemarau, jalan menuju Sruwoh melalui tengah sawah gelap gulita. Kerlap-kerlip bintang di langit tidak berdaya menerangi hitamnya malam. Sepi sekali. Orang jarang sekali berjalan malam hari di desa. Usia manusia desa dibatasi benar oleh benderangnya siang dan gulitanya malam. Maka untuk menerangi perjalanan mereka membawa daun kelapa yang telah kering, diikat, dibakar ujungnya, dijadikan obor. Obor itu dibawa Kartatempe. Dengan demikian, selain sebagai penerang jalan, obor tadi juga sebagai pertanda keberadaan mereka. (Suparto Brata, 2007:25). - Pagi hari Esok harinya lagi, pagi-pagi benar, Tambur menyalak-nyalak. Belum ada orang bangun. Teyi bangun, menjinakkan Tambur. Tambur menyalak di dalam rumah, tidak bisa keluar. Jelas, ada orang di luar rumah. (Suparto Brata, 2007:31). Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Kus Bandarkum telah menyiapkan segalanya untuk mengantarkan Dumilah dan anaknya ke Stasiun Solo Balapan. Dumilah mengenakan kain batik rujaksenthe dan kebaya biru kembang milik Teyi yang dipakai naik kereta api kemarin. Juga pakaian baru serta tas anyaman tikar bawaan Teyi disuruh pulang ke Ngombol, sebab di istana Jayaningratan Teyi sudah disiapkan pakaian cukup banyak milik Putri Parasi dulu. … (Suparto Brata, 2007:224). Pagi hari itu, setelah benderang, geger soal Tambur dilanjutkan. Den Manguntaruh tetap menuntut agar Tambur tidak dilepas bebas, tapi diikat di kebun belakang rumah. Sebagai kepala keluarga ia merasa terhina dimusuhi seekor anjing di rumah sendiri. Selama Teyi tidak ada, yang menjadi kepala keluarga, yang mengatur rumah tangga, Manguntaruh, bukan anjing peliharaan Teyi. Manguntaruh orang yang berdendang di pentasnya. (Suparto Brata, 2007:284). Sejak pagi Den Rara Tumpi bermain-main sama Dasuki. Mereka memberi makan ayam, bermain di rumah lesung, bermain pasaran di halaman belakang rumah. Ketika diajak pergi, mereka sedang asik bermain, tidak peduli ajakan itu. (Suparto Brata, 2007:335). - Malam hari Malam itu, setelah mencatat laporan Den Rara Tumpi, meskipun masih lelah, Den Rara Teyi memerlukan menemui Kartatempe, meminta laporan dan memeriksa hasil kerja sesiang tadi. Jauh malam baru Den Rara Teyi membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Ia merasa lega, segalanya terselesaikan dengan baik. Teyi merasa bahwa ia telah bekerja dengan sepenuh kekuatan untuk mencapai keberhasilan ini. Dan keberhasilan itu akan tetap terpelihara kalau Teyi tetap giat bekerja seperti itu. (Suparto Brata, 2007:39-40). Malam itu Pawit dan Kartatempe bertamu di rumah Den Nganten Raminem. (Suparto Brata, 2007:279). - Siang hari Gerimis siang mulai turun. Dan perempuan kelaparan itu segera menyambar bungkusan nasi dari tangan Den Rara Tumpi, lalu berjalan bertatih-tatih keluar dari rumah, menyebrangi halaman, keluar dari pekarangan, seperti kambing putus talinya. Tingkahnya seperti pengemis biasa, orang asing, bukan keluarga. Camik seperti anjing bercawat ekor. (Suparto Brata, 2007:47). Teyi segera ingat, Putri Parasi dulu pernah berkisah bahwa Pamanda Ingkang Sinuwun Raja Surakarta makan dua kali sehari, tiap pukul dua siang dan pukul dua malam. Makan pukul dua siang selanjutnya banyak ditiru para bangsawan kerabat Ingkang Sinuwun. Tampaknya masih berlaku di Istana Jayaningratan sampai hari ini. (Suparto Brata, 2007:129). “Biarlah dia makan bersama saya ditempatku sana, Kanjeng Ibu. Runtah, sajikanlah makan siang untuk kami berdua di gandokku. Ayo, Teyi, kita ke sana!” (Suparto Brata, 2007:132). - Musim hujan Musim hujan belum berakhir, mega mendung masih berkeliaran dilangit siang hari. Namun ketika mayat diberangkatkan meninggalkan Purwodadi, di langit matahari sedang bersinar gilang gemilang. … (Suparto Brata, 2007:390). - “Sudah dau tahun kita tidak mengadakan upacara begitu. Dilarang Pemerintah Balatentara Dai Nippon. Tahun ini diperbolehkan.” (Suparto Brata, 2007:236). - Teyi sudah lima puluh hari bermukim di Jayaningratan. Sudah banyak hal yang dipelajari, dan mulai dihayati. Bulan pernikahan telah ditetapkan, segala tetek-bengek upacaranya telah dimusyawarahkan. Langkah berikutnya, Teyi segera pulang dulu untuk mempersiapkan segalanya itu. Hujan yang turun ke bumi pun sudah berkurang derasnya. Teyi membayangkan, sudah waktunya padi dituai, sehingga simboknya tentu sudah sangat sibuk mengatur para buruh panen padi. (Suparto Brata, 2007:259). - Menerangkan waktu yang berkaitan dengan dekade atau sejarah Cerita ini berlatar tahun 1940-an ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. (3) Latar/Setting Sosial Kisah percintaan dalam hingar bingar rindu suasana pertemuan dan diskusi panjang mengungkap tuntas kebudayaan bangsa Jawa secara gamblang. Ketika pendudukan bangsa Jepang dimana rakyat Jawa hidup dalam masa kekurangan sandang dan kemunduran budaya, diperparah lagi warisan Belanda yang tidak membekaskan gores pendidikan baca tulis sama sekali bagi rakyat kebanyakan. Budaya unggah-ungguh Keraton Surakarta yang begitu adiluhung pun mulai tersapu, oleh karena itu persatuan kedua insan ini dinyatakan sebagai perkawinan di awal zaman laksana terbitnya matahari di ufuk timur. Budaya Jawa yang harus diselamatkan kelestariannya dengan munculnya zaman modern, sehingga mau tidak mau harus segera bertindak memberikan pendidikan baca tulis pada generasi itu sebanyak-banyaknya demi lestarinya budaya adiluhung bangsa Jawa dan mempersiapkan diri menjadi bangsa Indonesia yang merdeka. 5. Sudut Pandang Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Sudut Pandang ialah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut Pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya. Pada novel Mahligai di Ufuk Timur, cerita dipandang dari berbagai sudut. Terkadang pola keakuaan yang digunakan. Lalu sudut pandang orang ketiga (pola kediaan) serba tahu. Pengarang mengetahui semuanya, ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, termasuk motivasi yang melatarbelakangi dari kegiatan yang dilakukan. 6. Gaya Bahasa Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Gaya bahasa yang di pakai dalam novel Mahligai di Ufuk Timur ini bisa dikatakan trilingual. Ada tiga bahasa yang dipakai, yaitu bahasa Indonesia, Jawa dan Belanda. Bahkan hampir disetiap narasinya tidak lepas dari sastra yang sangat indah bahasanya, bahasa perumpamaan atau yang lebih dikenal dalam bahasa Indonesia dengan majas adalah yang paling sering dipakai. Pagi itu mendung berarakan menghantui, namun hujan rasanya telah tuntas diperas semalaman. Tanah di pedesaan basah dan gembur, kubangan berair, air parit alirannya deras. Suasana itu membuat orang enggan keluar rumah. Tapi naga-naganya mendung akan menyingkir. Panas matahari diharapkan akan memancar sebelum tengah hari. (Suparto Brata, 2007:293). C. Perspektif Gender 1. Perjuangan Kesetaraan antara Laki-laki dengan Perempuan Hal yang menonjol dalam novel Mahligai di Ufuk Timur adalah kuatnya ideologi feminisme. Penolakan terhadap cara pandang patriarki terasa sangat menonjol. Dominasi tokoh perempuan yaitu, Teyi, Raminem dan Dumilah dalam novel ini mengungkapkan masalah-masalah yang banyak dialami oleh wanita, terutama tuntutan adanya kesederajatan dengan laki-laki, menggugat sistem patriarki yang berlaku selama ini. Gugatan ini terjadi karena perbedaan peran, kekuasaan, hak, posisi, serta kuatnya nilai sosial budaya dan patriarki yang menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran tidak setara. Novel Mahligai di Ufuk Timur adalah novel yang berperspektif gender. Berikut adalah hasil analisis perspektif gender dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata. a) Peran Di Dalam Keluarga yang Produktif Peran di dalam keluarga yang produktif terlihat sekali di perankan oleh tokoh wanita dalam novel Mahligai di Ufuk Timur ini. Walaupun hanya dalam kehidupan rumah tangga mereka sangatlah aktif dan berperan layaknya kepala rumah tangga, bahkan peran mereka melebihi kepala rumah tangga yang sesungguhnya yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Peran di dalam keluarga yang produktif ini terlihat pada tokoh perempuan dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata seperti: (1) Den Rara Teyi Den Rara Teyi adalah perempuan yang cerdas dan pandai baca-tulis, padahal pada zaman jepang dulu sangat jarang orang pribumi yang padai baca-tulis. Dengan kelebihannya itu Den Rara Teyi sangatlah dikagumi karena sudah bisa mencatat hasil pendapatan panennya. Walaupun Teyi adalah seorang perempuan dia juga yang telah mengatur perekonomian keluarganya. Dari hasil panennya Teyi yang sangat dipercaya oleh ibunya untuk mengatur semuanya, walaupun keluarga Raminem punya kepala keluarga tapi Den Rara Teyi yang tetap dipercaya. Walaupun perempuan hendaknya dapat menempatkan dirinya dengan laki-laki. Kemampuan perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut: Orang lain bekerja tanpa catatan, hanya dengan lisan dan diingat di luar kepalam, atau paling banter menggunakan potongan kayu khusus sebagai alat hitung. Den Rara Teyi, sebagai orang yang tahu baca-tulis, mengingat semua pembagian itu dengan catatan. Ternyata sibuk sekali. Tapi dengan catatan itu para buruh dan pembantu yang berhubungan dengan Den Rara Teyi tidak bisa berbantah. Mereka tahu, kalau sudah dicatat maka bagaikan dianjah layu, dibuat mati, kebenarannya tidak bisa di bantah. (Suparto Brata, 2007:5). Den Rara Teyi dengan gigihnya juga berhasil membangun kerajaan pertaniannya. Sosok perempuan pekerja keras seperti Teyi patutlah dicontoh oleh perempuan masa kini. Demi mewujudkan cita-cita ibunya membangun kerajaan pertaniaan dengan susah payah akhirnya dia berhasil membangun Kerajaan Raminem. Pada musim panen yang lalu, Den Rara Teyi baru coba-coba menggarap sawah dengan menyewa sawah Siluwangan secara musiman. Tapi musim ini ia telah membeli sawah Prapatan, Sibena, Kulon Pring, menggadai Simentik, menyewa Sikawung secara musiman, Seketip dan Pojok Desa. Kata orang, ia termasuk yang paling banyak menguasai sawah sekitar desa Ngombol.itulah cita-cita Den Nganten Raminem sepanjang yang diketahui Den Rara Teyi sejak ia tinggal di Tangsi Lorong Belawan. Membangun kerajaan pertanian. Menjadi orang kaya dan berkuasa karena menguasai banyak sawah! Terutama menguasai sawah Prapatan. Saat ini Den Rara Teyi sudah merasa berhasil membangun Kerajaan Raminem. (Suparto Brata, 2007:38). Selain mewujudkan cita-cita ibunya, Den Rara Teyi juga punya cita-cita sendiri. Yaitu untuk menemui sang kekasih tercinta yang berada di kota yaitu di Keraton Jayaningratan. Teyi masih menyimpan citta-citanya sendiri, yakni segera memenuhi janjinya menemui kekasihnya di Istana Jayaningratan. Untuk itu ia harus meninggalkan Ngombol. Meninggalkan kegiatannya yang sekarang. Harus! Namun, tentu saja cita-cita itu tidak mungkin terwujud bila ia masih bekerja keras seperti hari ini. Tidak bisa. Ia harus membagi tugas kepada orang lain ketika harus meninggalkan Ngombol. (Suparto Brata, 2007:40). (2) Den Nganten Raminem Sosok Raminem memang dikenal seorang perempuan lemah lembut dan sabar, dia juga pemberani dan kuat. Walau pada umumnya perempuan selalu mengalah dengan suaminya tapi tidak untuk Den Nganten Raminem. Justru dengan keyakinan pada dirinya Raminem berani melawan kekejaman suaminya. Ini dilakukan karena Raminem tidak mau selalu ditindas oleh laki-laki walaupun suaminya sendiri. Ini bisa dilihat dalam kutipan berikut ini: “Ayo, Dumilah. Kesini. Jangan takut. Itu cuma kerosok ular di rumpun bambu. Siapa potong hidung rusak muka. Begitulah nanti, tunggu saja!” ucap Den Nganten Raminem. Memang sejak ditampar Den Manguntaruh, sifat Den Nganten Raminem berbalik lebih memusuhi suaminya. Lebih-lebih pagi ini, jelas sekali gejolaknya. (Suparto Brata, 2007:310). Raminem juga perempuan yang suka melindungi sesamanya. Banyak permasalahan teman-temannya waktu di Tangsi dulu yang ia tahu, tapi Raminem selalu menjaga rahasianya. Karena ia paham betul bagaimana perasaan perempuan yang terbongkar aibnya. Berikut kutipannya: “Kamu tahu, Dasiyun sekarang juga sudah berkeluarga, punya anak isteri, tapi keadaannya juga tertelentang berisi air, tertiarap berisi tanah, sangat susah. Dulu juga ikut kami di sini, tapi mereka datang tak berjemput, pulang tidak berantar. Siti diusir dan dibenci Dik Mangun. Dik Mangun benci sama menantu perempuannya. Maka kamu jangan menonjol-nonjolkan diri dengan mengatakan bahwa anakmu adalah anak Dasiyun!” Den Nganten Raminem bicara berbisik kepada Dumilah. (Suparto Brata, 2007:322). (3) Dumilah Dumilah memang sosok perempuan yang kurang beruntung dalam kehidupannya. Tapi, Dumilah dengan gigihnya bersemangat untuk hidup. Bagaimanapun ia harus menghidupi anak satu-satunya. Dengan berbekal semangat ia bisa bertahan hidup sewaktu di Tangsi Lorong Belawan, di Istana Jayaningratan hingga ia bisa bertemu dengan Teyi dan pada akhirnya ia di Ngombol. Perjalanan hidup yang dialami Dumilah bisa dikatakan yang paling susah dibandingkan dua perempuan sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Iya, Lik, saya mau bekerja biarpun umpan seumpan, kail sebentuk. Berilah saya kesempatan. Saya tak peduli Lik manguntaruh membenci aku, asal Lik Sersan memperbolehkan saya tinggal di sini. Tuah ayam boleh dilihat, tuah manusia siap tahu, iya, kan? Puteri Teyi sudah mengamanatkan begitu. (Suparto Brata, 2007:323). Lalu tamu dan tuan rumah pun bercerita tersendat-sendat tentang pengalaman masing-masing. Dumilah sangat hemat kata, hanya berucap kalau ditanya. Tapi karena pertanyaan tertuju kepadanya cukup banyak, maka riwayat hidupnya yang malang melintang dari pengungsian sampai bertemu dengan Teyi lagi terungkap lengkap juga. (Suparto Brata, 2007:328). b) Karakter Tokoh Perempuan Karakter tokoh perempuan pada umumnya dari lingkungan kelas ekonomi menengah ke bawah tetapi memiliki karakter yang tegas, mandiri, berkeinginan untuk maju dan berani menghadapi kenyataan. Hal ini terlihat pada tokoh perempuan dalam Mahligai di Ufuk Timur, mereka mandiri dan berkeinginan untuk maju karena semua adalah wanita pekerja keras untuk mencapai masa depan yang lebih baik. c) Pandangan Hidup Tokoh Perempuan Para tokoh perempuan kelas menengah ke atas pada umumnya ingin mengubah sistem patriarki menjadi kesetaraan gender, tetapi perempuan tokoh perempuan kelas menengah ke bawah dalam menghadapi sistem patriarki memandang bahwa patriarki sebagai kewajaran. Para tokoh perempuan, baik dari kelas menengah ke atas maupun ke bawah cenderung memaklumkan seks bebas dan perselingkuhan. Bahkan mereka berpandangan yang bertentangan dengan norma, seperti Dumilah yang menentang tentang keperawanan, bahkan dia berhubungan dengan beberapa laki-laki. 2. Tokoh Pendobrak Deskriminasi Gender Tokoh Den Rara Teyi adalah simbol wanita yang memberontak terhadap dekriminasi gender. Tokoh ini sejak awal cerita sudah menunjukkan kemampuan seorang perempuan yang bisa menyamai kemampuan laki-laki. Berbicara soal kerja keras layaknya laki-laki, Teyi telah membuktikannya kalau perempuan juga bisa hidup tanpa harus bergantung dari pendapatan seorang pasangan hidup (suami). Tapi, dengan tekat dan kemauan yang kuat perempuan juga bisa hidup dengan penghasilannya sendiri. Bahkan Teyi juga berhasil membangun Kerajaan Raminem dari kecerdikan, kecerdasan dan menggerakkan kaki tangannya sendiri. Hal ini bisa di buktikan dalam kutipan berikut. “O, kalau Den Teyi itu bukan saja mengerti. Beliau itu cerdik dan cerdas tentang mengelola sawah dan padi. Dan beliau tidak segan-segan menggerakkan kaki-tangannya. Tanpa pikiran dan kerjanya, kerajaan petani di sini ya tidak akan makmur seperti sekarang.” Bukan Raminem yang menjawab, tapi Kartaijaya alias Kartadokar. (Suparto Brata, 2007:325). Teyi juga membuktikannya kepada keluarganya sendiri, walaupun dalam keluarganya ada seorang laki-laki yang lebih pantas menjadi kepala keluarga, tapi pada kenyataannya seisi keluarga lebih patuh dan hormat kepada Teyi dibanding kepala keluarga yang sebenarnya yaitu bapak tirinya Manguntaruh. Dengan kecerdasan yang dimiliki Den Rara Teyi itulah yang membuatnya lebih dianggap mampu mengatur keluarganya di banding kepala keluarga yang seharusnya. Sehingga dalam hal ini Teyi berhasil menyetarakan dirinya dengan laki-laki bahkan bisa mengalahkannya. Hal ini bisa dibuktikan pada kutipan berikut. “Ya, aku ini minta dihargai sebagai kepala keluarga di sini! Kalau Teyi tidak ada, aku ini berhak yang mengatur-ngatur begitu! Orang berdendang di pentasnya! Laki-laki berkuasa di rumahtangganya,” bentak Manguntaruh. Suaranya keras tapi raganya lemah. Dibiarkannya saja Raminem merawat luka di lengannya. (Suparto Brata, 2007:292). D. Nilai Feminisme Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata Nilai feminisme dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata adalah feminisme radikal. Hal ini terlihat dari tokoh: 1. Den Rara Teyi Feminisme radikal bertujuan menghancurkan sistem jenis kelamin. Hal ini terlihat pada tokoh Den Rara Teyi. Seperti dalam kutipan berikut: Meski begitu Den Rara Teyi dan para penggarap sawahnya sehari-hari sibuk mengawasi dan menerima hasil panen. Kartatempe, Kartadinama, Somaireng, Sutarawit, Pawit, Gombak, semua pembantu Den Rara Teyi. Para lelaki penggarap itu biasa biasa disebut pembantu atau anak buah Den Rara Teyi. (Suparto Brata, 2007:3). Sosok Teyi juga menunjukkan sikap tegasnya terhadap laki-laki. Teyi sudah berniat akan mengurusi keluarganya yang ada di Bagelen, walaupun ada keluarga laki-laki tapi Teyi yakin bahwa dirinya lebih mampu dalam mengurus keluarga yang sudah kocar-kacir itu. Teyi bertindak tegas, bersikap tegar, bagaikan tohok tunggang ke buruh. Sejak sebelum berangkat dari Ngombol, ia memang sudah berniat mengurus perkara keluarga Bagelen gara-gara menyaksikan Mbokde Camik merumbu ke Ngombol dalam keadaan kurang waras. (Suparto Brata, 2007:62). Deskripsi di atas menunjukkan bahwa tokoh Den Rara Teyi berusaha menjajarkan perempuan dengan kaum laki-laki. Walaupun seorang perempuan ia tidak minder, ia dapat menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai kemampuan dalam kepemimpinan yang seimbang dengan laki-laki.   2. Dumilah Dalam masalah seks, perempuan bukanlah selalu pasif, dalam feminisme radikal peran laki-laki dan perempuan sama dalam seks. Hal ini terlihat dalam diri tokoh Dumilah yang walaupun masih gadis dia sudah gatal dengan laki-laki. Dan dia sering menemui Kapten Sarjubehi hanya untuk memuaskan birahinya. “Kamu memang perempuan gatal! Masih gadis sudah berlaki! Kamu memang uir-uir minta getah! Lesung mencari lalu!” (Suparto Brata, 2007:320). “Kurang ajar kamu ini! Itu dosa, lo, Dum! Kamu ini berdosa! Hidupmu seperti musang. Musang berbulu ayam. Kelihatannya baik-baik, ternyata malam hari ganas mencari bangsa! Selanjutnya bagaimana, sendok berdengar-dengar, nasi habis budi dapat! Kurang hati-hati, akhirnya mendapat malu!” (Suparto Brata, 2007:320). Deskripsi di atas menunjukkan bahwa seks itu juga kebutuhan seorang perempuan, tidak hanya untuk laki-laki. Dimana Dumilah merasa butuh akan seks, dia pun tiap malam selalu mencari laki-laki demi memuaskan birahinya. BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV diperoleh kesimpulan berkaitan dengan struktur pembangun, perspektif gender dan nilai feminisme dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata adalah sebagai berikut: 1. Struktur Pembangun dalam Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata a. Tema Pada dasarnya tema dalam novel Mahligai di Ufuk Timur ini adalah sebuah perjalanan percintaan seorang gadis dengan laki-laki bangsawan. seorang perempuan yang suka berjuang, bekerja keras, ringan tangan terhadap sesama, hapus kata dendam dalam hati, belajar terus menuju tiap tingkatan kepintaran baru dalam hidup dan tidak lupa memperluas jejaring kebaikan. Semua itu demi mewujudkan cita-citanya menikah dengan kekasihnya. b. Penokohan Dalam novel Mahligai di Ufuk Timur karya Suparto Brata, cara yang digunakan untuk menampilkan tokoh adalah teknik campuran yaitu penggabungan penggambaran tokoh secara bergantian. Kadang dimunculkan penggambaran tokoh dengan teknik analitik, kadang pula dimunculkan penggambaran tokoh secara teknik dramatik. Hal ini menyebabkan novel ini lebih mudah untuk dicerna oleh pembaca. c. Alur/Plot Alur/plot yang mengiringi kisah tokoh utama Den Rara Teyi menggunakan alur campuran, alur maju (progresif) dan alur mundur (regresif) yaitu beberapa bagian peristiwa yang berupa kilasan-kilasan saat Teyi mengenang masa lalunya. d. Latar/Setting Latar/Setting keseluruhan cerita yang digunakan adalah daerah Ngombol Purworejo dan Keraton Jayaningratan Solo. Sedangkan latar/setting sejarah yang digunakan adalah zaman Dai Nippon ketika pendudukan bangsa Jepang. e. Sudut Pandang Pada novel Mahligai di Ufuk Timur, cerita dipandang dari berbagai sudut. Terkadang pola keakuaan yang digunakan. Lalu sudut pandang orang ketiga (pola kediaan) serba tahu. Pengarang mengetahui semuanya, ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, termasuk motivasi yang melatarbelakangi dari kegiatan yang dilakukan. f. Gaya Bahasa Gaya bahasa yang di pakai dalam novel Mahligai di Ufuk Timur ini bisa dikatakan trilingual. Ada tiga bahasa yang dipakai, yaitu bahasa Indonesia, Jawa dan Belanda. Bahkan hampir disetiap narasinya tidak lepas dari sastra yang sangat indah bahasanya, bahasa perumpamaan atau yang lebih dikenal dalam bahasa Indonesia dengan majas adalah yang paling sering dipakai. 2. Perspektif Gender dan Nilai Feminisme dalam Novel Mahligai di Ufuk Timur Karya Suparto Brata a. Perspektif Gender 1. Perjuangan Kesetaraan antara Laki-laki dengan Perempuan (a) Peran di Dalam Keluarga yang Produktif (b) Karakter Tokoh Perempuan (c) Pandangan Hidup Tokoh Perempuan 2. Tokoh Pendobrak Deskriminasi Gender b. Nilai Feminisme Nilai feminism dalam novel Mahligai di Ufuk Timur adalah bentuk dari feminisme radikal yang bertujuan menghancurkan sistem jenis kelamin. B. SARAN Berdasarkan hasil serta implikasi penelitian yang telah disampaikan di depan, maka diajukan saran sebagai berikut: 1. Bagi Kaum Perempuan a. Sebagai perempuan haruslah menyadari kodratnya sebagai perempuan, misalnya menyusui, melahirkan karena tugas itu tidak dapat digantikan oleh kaum laki-laki. b. Sebagai perempuan harus dapat maju dan berkembang/mengembangkan kemampuannya sejajar dengan kaum laki-laki dalam bidang publik. c. Sebagai perempuan harus dapat menilai apa yang pantas dan baik untuk kemajuan dirinya, perempuan harus mandiri, dan tidak bergantung pada suami/orang lain. d. Sebagai kaum perempuan janganlah bertindak semau dirinya karena diberi kebebasan, hendaknya dapat mempertanggungjawabkan kebebasannya (kebebasan yang bertanggung jawab). e. Sebagai kaum perempuan walaupun mendapat kedudukan yang sejajar, hendaknya dapat menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai perempuan dalam menghadapi dunia yang global ini. f. Peran dan perlakuan tokoh perempuan dalam novel Saman dan Larung karya Ayu Utami, baik dari segi peran publik dan produktif, karakter, pandangan hidup, dan perlakuan yang dihadapi hendaklah dijadikan cermin dalam realitas kehidupan dan diambil hikmahnya untuk perjuangan perempuan dalam pengatasutamaan gender. 2. Bagi Kaum Laki-laki a. Sebagai kaum laki-laki hendaknya menyadari bahwa kita hidup ini saling membutuhkan satu sama lain termasuk dengan perempuan. b. Sebagai kaum laki-laki hendaknya jangan memandang rendah terhadap kaum perempuan. Meskipun laki-laki ditakdirkan di atas perempuan, bukan berarti dia dapat bertindak semena-mena terhadap kaum perempuan. c. Sebagai kaum laki-laki hendaknya dapat memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk dapat duduk sejajar/mitra sejajar serta mengurangi sistem patriarki yang merugikan kaum perempuan. d. Sebagai kaum laki-laki hendaknya dapat menjaga kehormatan dan martabat dirinya dalam menghadapi dunia yang global ini.